GABUNGAN Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyuarakan kekecewaan atas sejumlah poin krusial dalam revisi Undang-Undang (UU) Kepariwisataan yang baru saja disahkan. Sorotan utama dari asosiasi ini adalah dihapuskannya pasal yang secara spesifik mengatur tentang GIPI. Sebelumnya, eksistensi dan peran GIPI diakui dalam Bab XI UU Pariwisata Nomor 10 Tahun 2009. Namun, dalam UU yang baru, bab tersebut ditiadakan.
Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani, mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, penghapusan pasal ini mengisyaratkan adanya upaya untuk mengecilkan peran industri pariwisata. “Kami berjuang keras untuk memajukan pariwisata, tetapi justru induk dari pelaku industri pariwisata malah dihilangkan dalam undang-undang yang baru,” tegasnya dalam konferensi pers yang diadakan di Nusantara International Convention Exhibition, Pantai Indah Kapuk, pada Minggu, 12 Oktober 2025.
Hariyadi menambahkan bahwa penghapusan pasal mengenai GIPI ini tidak pernah disinggung selama diskusi antara industri dan DPR. Selama ini, ada dua isu utama yang dibahas GIPI dengan DPR. Pertama, terkait pendanaan, GIPI mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) yang dapat mengumpulkan dana dari wisatawan mancanegara.
Menurut Hariyadi, pajak pariwisata yang selama ini dipungut oleh pemerintah daerah, seperti pajak hotel, restoran, dan hiburan, belum memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan industri pariwisata di daerah. Hal serupa juga terjadi dengan pungutan dari pemerintah pusat, seperti uang visa turis yang masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Isu kedua yang diangkat adalah dukungan GIPI terhadap pembentukan Tourism Board yang diusulkan oleh DPR. Namun, baik usulan BLU maupun Tourism Board, tidak tercantum dalam UU Kepariwisataan yang baru.
Menyikapi situasi ini, GIPI berencana mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meminta perhatian terhadap hilangnya GIPI dari UU Kepariwisataan. “Penghapusan GIPI ini sama sekali tidak melibatkan kami dalam pembahasan, kami merasa dibantai begitu saja,” keluh Hariyadi.
Revisi UU Kepariwisataan disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis, 2 Oktober 2025. Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menyatakan bahwa pembahasan rancangan undang-undang ini telah mengedepankan aspirasi dari masyarakat, pakar, serta asosiasi dan industri pariwisata. Pernyataan ini disampaikan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 2 Oktober 2025, dan disiarkan langsung melalui YouTube TV Parlemen.
Tempo telah berupaya menghubungi Ketua Komisi VII DPR, Saleh Daulay, untuk mendapatkan tanggapan terkait isu ini. Namun, hingga berita ini diturunkan, Saleh Daulay belum memberikan respons.
Pilihan Editor: Dampak Alih Fungsi Sawah Jadi Kawasan Pariwisata di Bali





