Gula Petani Jatim Menumpuk: 65 Ribu Ton Belum Terserap!

Admin

No comments

Lebih dari 65 ribu ton gula milik petani di Jawa Timur dilaporkan masih menumpuk di gudang hingga Senin, 11 Agustus 2025. Jumlah yang sangat besar ini menjadi masalah serius bagi para petani tebu di wilayah tersebut. Data yang diperoleh Tempo menunjukkan, puluhan ribu ton gula tersebut kini tersimpan di 17 pabrik gula yang tersebar di 13 daerah di Jawa Timur. Pabrik-pabrik gula tersebut antara lain:

  • PG Wonolangan (Probolinggo)
  • PG Asembagoes (Situbondo)
  • PG Ngadirejo (Kediri)
  • PG Djatiroto (Lumajang)
  • PG Kedawoeng (Pasuruan)
  • PG Gending (Probolinggo)
  • PG Gempolkrep (Mojokerto)
  • PG Lestari (Nganjuk)
  • PG Tjoekir (Jombang)
  • PG Kremboong (Sidoarjo)
  • PG Redjosarie (Magetan)
  • PG Pradjekan (Bondowoso)
  • PG Soedhono (Ngawi)
  • PG Porwodadie (Magetan)
  • PG Semboro (Jember)
  • PG Pandjie (Situbondo)
  • PG Wringinanom (Situbondo)

Dari data yang terkumpul, PG Djatiroto di Kabupaten Lumajang menjadi pabrik dengan timbunan gula petani terbanyak, mencapai 8 ribu ton. Sebaliknya, PG Kremboong di Kabupaten Sidoarjo memiliki timbunan paling sedikit, yaitu 259 ton. Data ini merupakan rekapitulasi terakhir yang dilakukan pada Rabu, 6 Agustus 2025.

Sunardi Edy Sukamto, Ketua Tim Lelang Gula PT SGN, mengungkapkan bahwa gula petani masih menumpuk di gudang-gudang pabrik gula di Jawa Timur karena belum terserap pasar. “Gula masih belum terserap oleh pasar,” kata Sunardi, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), kepada TEMPO pada Senin, 11 Agustus 2025.

Lebih lanjut, Sunardi menjelaskan bahwa pedagang gula enggan membeli gula petani karena pasar dibanjiri gula rafinasi dan gula kristal rafinasi. Keberadaan gula rafinasi ini, menurutnya, telah menggerus pangsa pasar gula kristal putih yang dihasilkan oleh tebu rakyat. Sunardi mempertanyakan peran pemerintah dalam mengatasi persoalan yang dihadapi para petani. “Kami mati-matian mengusahakan agar tebu bisa tebang. Tapi selama 45 hari terakhir ini kami belum mendapatkan hasil,” imbuhnya.

Para pedagang, lanjut Sunardi, masih ragu untuk membeli gula kristal putih dengan harga acuan pembelian Rp 14.500 per kilogram karena tidak ada jaminan bisa dijual di pasar. “Peredaran gula rafinasi masih masif membanjiri pasar dengan segala motif pendistribusian dan kemasan, serta gula vitamin yang diproduksi dari gula rafinasi ini juga membanjiri pasar. Ini menjadi bencana dan sekaligus mesin penghancur rencana percepatan swasembada gula tahun 2027,” tegasnya.

Sunardi juga mempertanyakan komitmen negara dalam menjaga hilirisasi gula hasil giling agar bisa terserap pasar. “Siapakah yang harus bertanggung jawab menyelesaikan dan mengembalikan pasar gula sesuai peruntukan?” tanyanya retoris.

Untuk mengatasi masalah ini, Sunardi mengusulkan empat langkah penting. Pertama, pencairan dana Rp 1,5 Triliun dari ID Food yang dijanjikan cair dalam pekan ini. Kedua, pembelian semua gula produksi giling oleh negara melalui program cadangan pangan pemerintah. “Cabut izin edar gula vit karena bahan bakunya dari rafinasi. Kemudian awasi dan batasi peredaran gula rafinasi, serta cabut izin penyaluran rafinasi melalui koperasi. Dengan alasan UNOM dan home industri, pengguna serta olahan lainnya, malah justru ini yang masif menyimpang di pasar,” paparnya.

Selain itu, Sunardi mendesak pemerintah untuk mengatur tata kelola niaga gula. “Impor jumlahnya harus dibatasi sesuai kebutuhan dan bertahap datangnya setiap 3 bulan,” pungkasnya.

Pilihan Editor: Mengapa Utang Kereta Cepat Sulit Lunas

Tags:

Share:

Related Post