IHSG Pecah Rekor! Rebalancing Indeks & Likuiditas Jadi Katalis?

Admin

No comments

Sibisnis JAKARTA. Kabar baik bagi investor! Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencatatkan sejarah dengan penutupan rekor tertinggi sepanjang masa (All Time High/ATH) yang baru. Pada perdagangan Jumat (10/10), IHSG berhasil menguat tipis sebesar 0,08%, mencapai level 8.257,85. Lalu, apa yang mendorong performa impresif ini?

Oktavianus Audi, Vice President of Equity Retail Kiwoom Sekuritas, berpendapat bahwa penguatan IHSG kali ini tidak semata-mata dipicu oleh fenomena *window dressing*. Ada beberapa sentimen positif lain yang turut berperan.

Salah satu faktor utama, menurutnya, adalah *rebalancing* indeks global seperti MSCI dan FTSE. Masuknya sejumlah emiten konglomerasi ke dalam indeks tersebut menjadi penopang signifikan bagi pergerakan IHSG, membantunya mencetak rekor tertinggi baru.

“Kedua, spekulasi pada dampak implementasi suku bunga yang menurun. Ini membuat *cost of fund* emiten berpotensi menggairahkan ekspansi para emiten,” jelasnya kepada Kontan, Jumat (10/10). Dengan kata lain, penurunan suku bunga dapat mempermudah perusahaan mendapatkan pendanaan untuk mengembangkan bisnis mereka.

IHSG Menguat 1,72% dalam Sepekan, Ditopang Saham Konglomerasi dan Sentimen Global

Selain itu, penguatan harga sejumlah komoditas, seperti tembaga, perak (silver), dan emas, turut memberikan dorongan positif pada kinerja saham-saham berbasis komoditas. Sentimen positif juga datang dari suntikan likuiditas pemerintah sebesar Rp200 triliun, yang diharapkan dapat mendukung aktivitas sektor riil dan menopang pertumbuhan ekonomi domestik.

“Namun dengan emiten bobot besar, seperti *big bank* yang belum merealisasikan *window dressing* justru akan menjadi angin segar jika sudah terimplementasi dampak terhadap kinerja emiten,” imbuhnya. Potensi *window dressing* dari bank-bank besar dapat menjadi katalis positif tambahan di masa depan.

Investor Domestik Masih Jadi Penopang Utama

Indy Naila, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, melihat kombinasi antara *window dressing* dan kekuatan investor domestik sebagai faktor kunci dalam menopang penguatan IHSG saat ini.

“Sementara asing yang masih cukup selektif untuk masuk ke pasar saham, terutama ke saham *growth* karena investor menantikan laporan keuangan kuartal III-2025,” jelasnya kepada Kontan, Jumat (10/10). Investor asing tampaknya masih berhati-hati dan menunggu data kinerja perusahaan sebelum membuat keputusan investasi yang lebih besar.

Indy menambahkan bahwa pelaku pasar, khususnya investor asing, masih menunggu perkembangan data ekonomi Indonesia, termasuk *outlook* suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan The Federal Reserve (The Fed).

Dorongan Stimulus dan Stabilitas Rupiah

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menambahkan bahwa penguatan IHSG juga dipicu oleh kebijakan stimulus pemerintah yang bertujuan untuk menggerakkan ekonomi nasional.

Disetir Data Ekonomi, IHSG Menguat 1,72% Dalam Sepekan

Kementerian Keuangan sebelumnya mengumumkan rencana penggelontoran paket stimulus ekonomi tambahan pada kuartal IV-2025, dengan fokus pada masyarakat miskin dan rentan.

“Kalau misalkan stimulus tersebut tepat sasaran, dampaknya akan dapat memberikan dampak positif pada perekonomian Indonesia di kuartal empat tahun ini,” kata Nafan. Efektivitas stimulus ini akan menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di akhir tahun.

Nafan juga menyoroti stabilitas nilai tukar rupiah dan kebijakan moneter BI sebagai sentimen positif tambahan bagi pasar saham.

“Sentimen juga dapat dari The Fed, yang berpeluang untuk memangkas suku bunga acuan dalam FOMC di akhir Oktober 2025 dan menanti arah kebijakan The Fed di Desember,” ucapnya. Kebijakan The Fed di masa depan juga akan memengaruhi sentimen pasar secara global.

Strategi Investasi Menjelang Akhir Tahun

Head of Research & Education Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan, mencermati bahwa dalam beberapa tahun terakhir, fenomena *window dressing* justru sering terjadi pada bulan November, sementara investor cenderung *wait and see* di bulan Desember.

“Di 2025, mungkin hal tersebut bisa terulang. Biasanya *window dressing*, pelaku pasar akan memilih saham-saham dengan fundamental bagus tetapi harga sahamnya murah atau terdiskon banyak,” katanya. Mencari saham-saham *undervalued* dengan fundamental yang kuat bisa menjadi strategi yang menarik.

Valdy mencontohkan, saham-saham perbankan besar seperti BBCA, BMRI, BBNI, dan BBRI telah mengalami penurunan harga cukup tajam dan berpotensi menjadi incaran investor.

Sementara itu, Indy menyarankan agar investor tetap selektif dan fokus pada sektor defensif seperti konsumsi, sambil memantau laporan keuangan sektor perbankan untuk melihat potensi pemulihan profitabilitas.

Menguat Akhir Pekan Ini, Simak Prediksi IHSG pada Senin (13/10/2025)

Menurut Indy, apabila terdapat tanda-tanda pemulihan laba, investor dapat mempertimbangkan akumulasi pada harga rendah. Ia merekomendasikan beberapa saham dengan target harga:

  • INDF di Rp8.000
  • BBRI di Rp5.025
  • BMRI di Rp5.200

Senada, Nafan menilai investor dapat menerapkan strategi *buy on dip* atau merealisasikan keuntungan secara selektif.

Ia merekomendasikan sejumlah saham pilihan untuk akhir tahun ini, antara lain: BBCA, AALI, LSIP, TBLA, ASII, AUTO, BBNI, BBRI, BBTN, BMRI, BNGA, BTPS, ELSA, ERAA, JPFA, PGAS, TLKM, TUGU, dan SIDO. Dengan beragam pilihan saham, investor dapat menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi masing-masing.

Tags:

Share:

Related Post