Jakarta, IDN Times – Kabar baik bagi pemerintah daerah (pemda)! Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini memberikan lampu hijau bagi pemda untuk meminjam dana langsung dari pemerintah pusat. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 ini membuka keran pembiayaan yang sebelumnya tertutup bagi daerah.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa PP ini menjadi landasan hukum pertama yang secara eksplisit memberikan akses pembiayaan dari pusat kepada pemda. Ini adalah angin segar bagi daerah yang membutuhkan sokongan dana untuk pembangunan.
“Intinya sekarang sudah diperbolehkan. Dulu tidak bisa karena memang belum ada dasar hukumnya,” jelas Febrio di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
1. Kemenkeu Kaji Batas Maksimal Pinjaman untuk Pemda

Saat ini, Kemenkeu sedang menggodok kajian mendalam untuk menentukan besaran dana yang dapat dipinjam oleh masing-masing pemda. Sesuai dengan PP Nomor 38 Tahun 2025, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada pihak yang memenuhi syarat, tentunya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dana pinjaman ini akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan mekanisme pemberian pinjaman yang dievaluasi setiap lima tahun sekali. Jadi, ini bukan sekadar kebijakan jangka pendek, melainkan komitmen jangka panjang pemerintah pusat untuk mendukung pembangunan daerah.
“Soal besarannya (batas pinjaman), akan kami hitung berdasarkan kebutuhan dan permintaan dari masing-masing daerah,” imbuh Febrio, memberikan gambaran bahwa perhitungan akan dilakukan secara cermat dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
PP Nomor 38 Tahun 2025 dengan jelas menempatkan pemerintah sebagai kreditur bagi entitas pemerintahan lainnya. Ini berarti, selain menerima pinjaman dari pihak lain (dalam dan luar negeri), pemerintah juga aktif berperan dalam memberikan pinjaman untuk memajukan pembangunan di berbagai sektor.
Pasal 4 PP tersebut merinci tujuan pemberian pinjaman, yaitu untuk mendukung kegiatan strategis seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, pemberdayaan industri dalam negeri, pembiayaan sektor ekonomi produktif (termasuk modal kerja), serta berbagai program pembangunan lain yang selaras dengan kebijakan strategis pemerintah pusat.
Lebih lanjut, pemerintah membuka peluang bagi daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang terkena dampak bencana (baik alam maupun non-alam) untuk memperoleh pinjaman khusus. Tujuannya adalah untuk mempercepat pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pasca-bencana.
Sebagai penegasan, setiap pinjaman akan diberikan atas nama Pemerintah Pusat dan pengelolaannya dipercayakan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dengan sumber pendanaan yang berasal dari APBN.
“Sumber dana pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat berasal dari APBN,” bunyi Pasal 8 PP tersebut, memperjelas asal muasal dana yang akan dipinjamkan kepada daerah.
Namun, sebelum dana pinjaman dapat dicairkan, pemerintah wajib mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Persetujuan ini akan menjadi bagian dari proses pembahasan dan pengesahan APBN atau APBN Perubahan (APBN-P), sehingga akuntabilitas dan transparansi tetap terjaga.
2. Pinjaman Diharapkan Pacu Kegiatan Strategis Sesuai Kebijakan Nasional

Febrio kembali mengingatkan bahwa pinjaman ini diprioritaskan untuk mendukung kegiatan strategis, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan industri lokal, pembiayaan sektor ekonomi produktif, serta program pembangunan yang sejalan dengan prioritas nasional.
Diharapkan, kebijakan ini akan mempercepat laju pembangunan di daerah, terutama bagi wilayah yang memiliki keterbatasan fiskal. Selain itu, pinjaman ini juga diharapkan dapat memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional yang telah ditetapkan.
3. Resentralisasi Fiskal: Ancaman di Balik Kemudahan Pinjaman?

Namun, kebijakan ini juga menuai kritik. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi, berpendapat bahwa aturan ini berpotensi memperkuat resentralisasi fiskal. Resentralisasi fiskal adalah kondisi di mana kewenangan keuangan daerah kembali ditarik dan dikendalikan oleh pemerintah pusat.
“Daerah berpotensi kehilangan posisinya sebagai entitas otonom yang seharusnya menentukan arah pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal. Sekarang, mereka harus ‘memohon’ pinjaman kepada pusat,” ungkap Media, menyuarakan kekhawatiran akan berkurangnya kemandirian daerah.
Menurutnya, PP ini berpotensi menggerus semangat otonomi daerah yang diamanatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, serta prinsip kemandirian fiskal daerah yang tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022.
Media juga menolak anggapan bahwa kebijakan ini dibuat semata-mata untuk mengendalikan praktik korupsi di daerah. Ia berpendapat bahwa praktik korupsi dan inefisiensi justru masih banyak terjadi di tingkat pusat.
“Alasan mengendalikan korupsi daerah sebagai pembenaran skema pinjaman ini juga problematik. Secara empiris, korupsi besar dan inefisiensi justru kerap terjadi di level pusat,” pungkas Media, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola keuangan di semua tingkatan pemerintahan.
Kemenkeu Beberkan Alasan Penerimaan Pajak September Drop 4,4 Persen




