Rupiah Loyo: Kondisi Fiskal dan Tekanan Eksternal Jadi Biang Kerok?

Admin

No comments

Sibisnis – JAKARTA. Rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS), mencapai titik terendah baru. Pada perdagangan Selasa (4/11/2025), nilai tukar rupiah di pasar spot melemah 0,19% menjadi Rp 16.708 per dolar AS. Level ini merupakan yang terlemah sejak 29 September 2025.

Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan pelemahan. Kurs rupiah Jisdor tergerus 0,36% menjadi Rp 16.724 per dolar AS, juga menjadi level terlemah sejak akhir September 2025, atau lebih dari enam pekan terakhir.

Tekanan terhadap rupiah ini dipicu oleh berbagai sentimen, dengan fundamental ekonomi yang kurang solid menjadi salah satu penyebab utama, terutama terkait dengan tekanan fiskal yang membayangi.

Menariknya, pada bulan September lalu, ketika indeks dolar AS (DXY) melemah ke kisaran 96-97, rupiah justru gagal memanfaatkan momentum untuk menguat. Padahal, secara teoritis, pelemahan indeks dolar AS seharusnya memberikan ruang bagi mata uang lain untuk menguat terhadapnya.

Begini Proyeksi Rupiah Jelang Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi pada Rabu (5/11/2025)

Yanuar Rizky, Ekonom Bright Institute, melihat ada dua sentimen utama yang membebani rupiah sejak September hingga Oktober. Pertama, pasar menilai Bank Indonesia (BI) cenderung “populis” dan lebih mengikuti kemauan pemerintah.

Ia mencontohkan, ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa seringkali menyinggung soal suku bunga acuan, BI kemudian menurunkan BI rate. Langkah ini justru memicu peningkatan volatilitas di pasar saham.

“Koreksi turun lalu naik lagi mengindikasikan bahwa pasar mengompensasi penurunan BI rate dengan menaikkan yield di saham, serta di Surat Berharga Negara (SBN). Akibatnya, rupiah melemah padahal seharusnya menguat seiring dengan pelemahan indeks dolar AS,” jelas Yanuar kepada Kontan, Selasa (4/10/2025).

Sentimen kedua, pasar menilai Indonesia kurang memperhatikan stabilitas. Hal ini terlihat dari dominasi kepemilikan SBN dalam rasio devisa BI yang semakin besar.

“Sekitar 86%-90% rasio aset BI adalah SBN. BI tidak menambah pembelian emas, berbeda dengan banyak bank sentral negara berkembang lainnya. Hal ini mengindikasikan kepada pasar bahwa BI lebih memprioritaskan stabilitas makro,” lanjut Yanuar.

Tertekan Berbagai Sentimen, Rupiah Diramal Lanjut Melemah, Rabu (5/11)

Menurutnya, perhitungan ini dapat menimbulkan bias. Ketika pemerintah menarik dana sebesar Rp 200 triliun dari rekening pemerintah di BI ke Himbara, pasar menginterpretasikan bahwa sisi aset BI perlu di-rebalancing dengan pengurangan tersebut.

Akibatnya, ada potensi BI akan melepas sebagian SBN-nya, padahal di sisi lain BI juga harus menopang revolving surat utang jatuh tempo yang besar. Kondisi ini memicu shorting bond yang semakin membebani intervensi BI di pasar spot dan pasar non-deliverable forward (NDF) rupiah terhadap dolar AS.

Selain faktor-faktor internal, sentimen eksternal juga turut mempengaruhi. Yanuar menyoroti sinyal dari The Fed yang berencana menghentikan normalisasi neracanya pada bulan Desember, serta potensi penurunan suku bunga Fed.

Saat ini, indeks dolar AS (DXY) kembali menguat ke kisaran 100. Berdasarkan data Trading Economics pada Selasa (4/11/2025) pukul 19.15 WIB, DXY menguat 0,21% menjadi 100,087. Kondisi ini, secara umum, akan melemahkan mata uang lain, termasuk rupiah.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menambahkan bahwa pelemahan rupiah juga disebabkan oleh outflow investor asing di pasar obligasi pemerintah. Selain itu, probabilitas penurunan suku bunga Fed pada bulan Desember yang menurun juga menjadi faktor penekan.

“Probabilitas penurunan suku bunga Fed di bulan Desember turun dari 90% menjadi 60%, sehingga indeks dolar AS cenderung menguat belakangan ini,” ungkap David.

Dalam jangka pendek, David memproyeksikan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.650 – Rp 16.750 per dolar AS.

Sementara itu, Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka, Sutopo Widodo, berpendapat bahwa pelemahan rupiah hari ini didorong oleh faktor eksternal yang kuat, yaitu penguatan tajam indeks dolar AS yang mencapai level tertinggi dalam tiga bulan.

Sentimen ini muncul setelah pejabat Federal Reserve (Fed) mengisyaratkan kehati-hatian terhadap penurunan suku bunga lebih lanjut di bulan Desember.

Sutopo menjelaskan bahwa pernyataan dari Gubernur Cook dan Presiden Goolsbee secara efektif memangkas ekspektasi pasar terhadap pelonggaran agresif, yang mendorong para pedagang untuk menyesuaikan taruhan mereka, sehingga dolar AS menjadi lebih menarik.

“Hal ini menciptakan arus modal keluar dari aset berisiko seperti Rupiah, yang dikenal sebagai sentimen risk-off,” kata Sutopo.

Permintaan dolar AS memang cenderung meningkat saat ini, terutama didorong oleh dua alasan. Pertama, sentimen risk-off global meningkatkan permintaan untuk aset aman (safe haven), dan dolar AS adalah mata uang safe haven utama di dunia.

Kinerja Adaro Minerals (ADMR) Dipengaruhi Harga Komoditas, Simak Rekomendasi Sahamnya

Kedua, secara domestik di Indonesia, permintaan dolar AS meningkat untuk kebutuhan transaksi seperti pembayaran utang luar negeri baik pemerintah maupun korporasi, impor barang-barang penting seperti bahan baku industri, serta kebutuhan repatriasi dividen atau pengambilan keuntungan oleh investor asing menjelang akhir tahun.

Menurut Sutopo, rupiah masih sulit menguat karena disparitas suku bunga yang menyempit dan menembus global yang tinggi.

“Meskipun Bank Indonesia (BI) mengisyaratkan ruang pelonggaran ke depan, sinyal dari The Fed justru menahan Dolar di level tinggi, mengurangi daya tarik imbal hasil aset rupiah relatif terhadap aset dolar,” lanjut Sutopo.

Secara teknikal, rupiah telah menembus resistensi psikologis. Dengan berlanjutnya sentimen penguatan dolar, proyeksi rupiah berpotensi menguji kisaran Rp 16.750 hingga Rp 16.800 per dolar AS dalam jangka pendek.

Tags:

Share:

Related Post