Trump Bikin Panik! Wall Street Ambruk, Investor Ketar-Ketir?

Admin

No comments

Sibisnis – NEW YORK. Wall Street bergejolak! Bursa saham New York mengalami penurunan tajam pada hari Jumat (10 Oktober 2025) setelah Presiden AS, Donald Trump, melontarkan ancaman keras terhadap China terkait pembatasan ekspor tanah jarang. Sentimen pasar langsung terpukul oleh potensi perang dagang yang kembali memanas.

Melalui platform Truth Social, Trump menyampaikan bahwa ia sedang mempertimbangkan “kenaikan tarif besar-besaran” untuk barang-barang impor dari China. Lebih lanjut, ia juga mengisyaratkan pembatalan pertemuan yang direncanakan dengan Presiden Xi Jinping dalam dua minggu mendatang. “Ada banyak langkah balasan lain yang sedang dipertimbangkan,” tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters. Pernyataan ini bagaikan petir di siang bolong, mengejutkan pasar dan memperburuk hubungan yang sudah tegang antara dua kekuatan ekonomi global tersebut.

Trump Batalkan Rencana Bertemu Xi Jinping, Ancam Naikkan Tarif Baru terhadap China

Reaksi pasar pun tak terhindarkan. Tiga indeks saham utama AS langsung merosot tajam setelah pernyataan kontroversial Trump. S&P 500 dan Nasdaq mencatat penurunan persentase harian terbesar sejak 10 April. Secara mingguan, S&P 500 membukukan penurunan terburuk sejak Mei, sementara Nasdaq mengalami penurunan mingguan terdalam sejak April.

Secara rinci, pada Jumat (10/10/2025), Dow Jones Industrial Average anjlok 878,82 poin atau 1,90% menjadi 45.479,60. Indeks S&P 500 longsor 182,60 poin atau 2,71% menjadi 6.552,51, dan Nasdaq Composite turun 820,20 poin, atau 3,56% ke level 22.204,43.

Menurut Ryan Detrick, kepala strategi pasar di Carson Group di Omaha, ketidakpastian ini memicu aksi jual besar-besaran. “Negara dengan ekonomi terbesar kedua dan ekonomi terbesar pertama kembali berdebat, dan kita melihat mentalitas jual saham dulu. Postingan Presiden Trump benar-benar muncul tiba-tiba, yang membuka pintu bagi volatilitas ekstrem,” ujarnya, seperti dilansir Reuters.

Detrick menambahkan bahwa pasar saham sudah lama tidak mengalami volatilitas setinggi ini. “Bisa dibilang kita akan mengalami sedikit kepanikan di bulan Oktober ini,” imbuhnya, menggarisbawahi potensi gejolak pasar yang lebih besar.

Kebijakan perdagangan Trump yang terkenal tidak menentu telah menjadi sumber kekhawatiran pasar sejak pengumuman pada 2 April 2025. Negosiasi perdagangan yang kerap kali terputus dan tersambung kembali telah menyebabkan turbulensi di seluruh kelas aset.

Perlu diketahui, China saat ini memegang kendali atas lebih dari 90% produksi logam tanah jarang dan magnet tanah jarang olahan dunia. Material ini sangat krusial untuk berbagai industri, termasuk kendaraan listrik, mesin pesawat, hingga radar militer.

Ketegangan yang kembali membara antara dua raksasa ekonomi ini berpotensi memicu gangguan rantai pasokan yang signifikan, terutama bagi sektor teknologi, kendaraan listrik, dan pertahanan.

Indeks Volatilitas CBOE, yang sering dianggap sebagai barometer kecemasan pasar, melonjak ke level penutupan tertinggi sejak 19 Juni 2025, mencerminkan kekhawatiran investor yang meningkat.

Imbal Hasil Obligasi AS Turun Tajam Jumat (10/10), Trump Ancam Tarif terhadap China

Saham-saham perusahaan China yang terdaftar di bursa AS turut merasakan dampak negatifnya. Raksasa e-commerce seperti Alibaba Group Holding, JD.com Inc, dan PDD Holdings mengalami penurunan antara 5,3% hingga 8,5%. Selain itu, saham Qualcomm juga anjlok 7,3% setelah regulator pasar China mengumumkan penyelidikan antimonopoli terhadap produsen semikonduktor tersebut terkait akuisisi Autotalks Israel.

Di tengah gejolak pasar, pemerintah AS saat ini memasuki hari ke-10 penutupan pemerintahan akibat kebuntuan di Kongres. Situasi ini semakin memperkeruh suasana, mengakibatkan penundaan pengumuman data ekonomi resmi pemerintah.

Meskipun demikian, data dari sumber independen terus mengalir. Universitas Michigan merilis data awal sentimen konsumen bulan Oktober, yang menunjukkan penurunan mendekati level terendah dalam sejarah. Harga yang tinggi dan prospek lapangan kerja yang melemah menjadi kekhawatiran utama bagi konsumen.

Dengan absennya data resmi, investor kini lebih fokus pada petunjuk dari Federal Reserve AS mengenai potensi penurunan suku bunga jangka pendek. Gubernur Fed Christopher Waller menyatakan bahwa meskipun data ketenagakerjaan swasta menunjukkan pelemahan pasar tenaga kerja, bank sentral harus berhati-hati dalam menurunkan suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) saat mengevaluasi kondisi ekonomi.

Senada dengan Waller, Presiden Fed St. Louis, Alberto Musalem, juga menekankan perlunya kehati-hatian. Menurutnya, penurunan suku bunga lebih lanjut dapat dibenarkan sebagai langkah antisipasi terhadap potensi pelemahan pasar tenaga kerja. “Saya yakin kita harus bertindak hati-hati” sebelum kebijakan moneter menjadi terlalu akomodatif, ujarnya.

Di tengah ketidakpastian ini, serangkaian perusahaan keuangan besar—termasuk JPMorgan Chase, Goldman Sachs, Citigroup, dan Wells Fargo—dijadwalkan untuk merilis laporan keuangan kuartalan pada hari Selasa, menandai dimulainya musim laporan keuangan kuartal ketiga secara tidak resmi.

Para analis saat ini memperkirakan pertumbuhan pendapatan S&P 500 kuartal ketiga sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year), secara agregat. Angka ini dibandingkan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 13,8% pada kuartal terakhir dan 9,1% pada kuartal ketiga 2024, menurut data LSEG. Pasar akan mencermati dengan seksama laporan-laporan ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kesehatan ekonomi AS.

Tags:

Share:

Related Post