Whoosh Dibayar APBN? Airlangga Buka Suara Soal Utang Kereta Cepat

Admin

No comments

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, angkat bicara mengenai opsi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk melunasi utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh. Wacana pelunasan tunggakan melalui APBN ini masih dalam tahap pembahasan.

“Masih dalam pembahasan,” ujar Airlangga singkat di Jakarta, Jumat, 7 November 2025, tanpa memberikan detail lebih lanjut mengenai jalannya diskusi tersebut.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan kesediaannya untuk bertanggung jawab atas polemik utang Whoosh. Bahkan, Kepala Negara menjamin pemerintah mampu mengalokasikan Rp 1,2 triliun per tahun untuk pembayaran tunggakan proyek tersebut. Prabowo sempat melontarkan ide untuk menalangi utang dengan dana hasil sitaan koruptor.

Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai ide tersebut menarik dari sisi moral, namun sulit diimplementasikan secara kelembagaan. Ia menjelaskan bahwa uang hasil sitaan korupsi secara otomatis masuk ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang penggunaannya terikat pada mekanisme APBN.

Selain itu, Achmad menekankan bahwa jumlah uang sitaan korupsi bersifat fluktuatif. Sebagai contoh, pada tahun 2024, total setoran KPK dari uang rampasan hanya sekitar Rp 637 miliar. Jumlah ini jauh dari kebutuhan cicilan utang Whoosh yang mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun per tahun. “Artinya, bahkan seluruh hasil sitaan pun tidak cukup menutup kewajiban tahunan proyek,” tegas Achmad.

Lebih lanjut, Achmad memperingatkan bahwa penggunaan dana semacam ini tanpa aturan yang jelas dapat menimbulkan masalah tata kelola dan audit. Menurutnya, negara memang memiliki ruang untuk berkreasi, namun kreativitas fiskal tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip keberlanjutan. “Jika sumbernya tidak rutin, risiko fiskal meningkat dan kredibilitas keuangan negara bisa terganggu,” jelasnya.

Sebagai informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung mulai beroperasi pada Oktober 2023 dengan skema kepemilikan 60 persen oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen oleh Tiongkok. Biaya awal proyek tercatat sebesar US$ 5,5 miliar (Rp 89,6 triliun), namun kemudian membengkak menjadi US$ 7,27 miliar (Rp 118,4 triliun) akibat cost overrun. Dari pembengkakan biaya sebesar US$ 1,2 miliar tersebut, 75 persen ditutupi melalui pinjaman baru dari China Development Bank, sementara 25 persen sisanya berasal dari tambahan ekuitas KCIC.

Anastasya Lavenia Yudi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Bekerja di Bawah Ancaman PHK

Tags:

Share:

Related Post