Sibisnis – JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan tren penguatan yang solid sepanjang tahun 2025. Hingga saat ini, IHSG telah mencatatkan kenaikan sebesar 12,85% secara *year to date* (YtD), sebuah pencapaian yang menggembirakan bagi pasar modal Indonesia.
Kinerja positif IHSG ini bahkan mendorong beberapa lembaga sekuritas untuk merevisi naik target indeks hingga mencapai level 8.600 pada akhir tahun 2025. Optimisme ini didasarkan pada momentum penguatan yang terus berlanjut.
Menurut Analis NH Korindo, Steven Willie, pergerakan IHSG saat ini banyak ditopang oleh saham-saham dari kelompok konglomerasi. Fenomena ini menarik, mengingat IHSG terus melaju meskipun terjadi aksi jual bersih (net sell) signifikan oleh investor asing. Data menunjukkan bahwa hingga 1 Oktober 2025, investor asing telah melakukan net sell sebesar Rp 55,51 triliun.
“Walaupun asing banyak melakukan net sell, pergerakan saham-saham konglomerasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh investor domestik,” ungkap Steven kepada Kontan, Rabu (1/9/2025), mengindikasikan kekuatan pasar domestik dalam menopang IHSG.
Steven memperkirakan bahwa aksi jual oleh investor asing masih berpotensi berlanjut, terutama jika selisih suku bunga acuan antara Bank Indonesia dan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, tetap sempit.
Lebih lanjut, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga dapat menjadi faktor yang membuat investor asing enggan untuk berinvestasi di pasar saham Indonesia. Namun, Steven melihat adanya harapan jika kinerja emiten-emiten menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Intervensi aktif dari Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas rupiah juga menjadi kunci. Jika rupiah stabil, Steven meyakini bahwa investor asing akan kembali melirik pasar domestik.
Meskipun banyak analis yang menargetkan level 8.600, Steven justru berpendapat bahwa angka tersebut akan sulit dicapai. “Diperlukan kestabilan kurs domestik terlebih dahulu dan *earnings* yang solid agar *inflow* asing bisa membantu mendorong IHSG ke 8.600,” jelasnya. Dengan kata lain, fundamental ekonomi yang kuat dan stabil menjadi prasyarat utama.
Di tengah sentimen pasar yang beragam ini, Steven menyarankan investor untuk memanfaatkan peluang dengan mengakumulasi saham-saham *blue chips* dengan valuasi yang menarik, terutama dari sektor perbankan besar.
Selain itu, kenaikan harga komoditas emas juga membuka peluang investasi pada saham-saham di sektor emas sebagai diversifikasi portofolio.
“Lalu bagi *trader* agresif yang bisa memanfaatkan momentum jangka pendek, bisa memantau pergerakan saham-saham konglomerasi yang sedang ‘manggung’ saat ini, namun dengan risiko yang terukur,” pungkasnya, memberikan strategi yang lebih spesifik bagi investor dengan profil risiko berbeda.