Harga Tembaga Meroket! Pasokan Terancam, Investasi Makin Menggiurkan?

Admin

No comments

Harga tembaga melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari 16 bulan pada hari Senin (6 Oktober 2025), didorong oleh kekhawatiran pasokan dari dua produsen utama: Chili dan Indonesia. Sentimen pasar yang kuat ini dipicu oleh berbagai faktor, yang mengarah pada revisi optimis dari beberapa lembaga keuangan terkemuka.

Kontrak tembaga tiga bulan di London Metal Exchange (LME) mengalami kenaikan signifikan, naik 0,4% menjadi US$ 10.760 per metrik ton. Angka ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2024, menandai tren kenaikan selama empat sesi berturut-turut yang menegaskan kepercayaan investor pada logam industri ini.

Salah satu pendorong utama kenaikan harga tembaga adalah tragedi yang terjadi di tambang Grasberg, Indonesia. Freeport mengumumkan bahwa lima pekerja yang sebelumnya dilaporkan hilang akibat bencana lumpur di tambang tembaga dan emas Grasberg telah ditemukan meninggal dunia. Dampak dari kejadian ini dirasakan secara global, mengingat peran penting Grasberg dalam produksi tembaga dunia.

Sebagai tambang tembaga terbesar kedua di dunia, Grasberg menyumbang sekitar 3% dari total produksi konsentrat tembaga global. Gangguan operasional akibat tragedi ini diperkirakan akan menyebabkan hilangnya sekitar 591.000 ton produksi tembaga antara September 2025 hingga akhir 2026. Konsekuensi dari potensi kekurangan pasokan ini mendorong analis di Goldman Sachs, Citi, dan Bank of America untuk menaikkan proyeksi harga tembaga mereka.

“Momentum bullish pada tembaga terus berlanjut, dengan harga menembus US$ 10.700 per ton,” catat ANZ dalam analisisnya. “Investor tetap khawatir tentang tantangan pasokan di Chili dan Indonesia.” Lebih lanjut, ANZ menyoroti bahwa “Tantangan pasokan tambang, bersama dengan kebijakan anti-involusi di China, memengaruhi pertumbuhan produksi tembaga olahan.”

Selain masalah di Indonesia, Chili, produsen tembaga utama lainnya, juga menghadapi tantangan. Produksi tembaga di Chili mengalami penurunan 9,9% secara tahunan pada bulan Agustus, dipicu oleh kecelakaan di tambang utama Codelco pada 31 Juli. Kombinasi dari kedua faktor ini semakin memperkuat kekhawatiran pasar terhadap ketersediaan pasokan global.

Sementara harga tembaga terus menguat, pergerakan harga logam lainnya di London Metal Exchange (LME) menunjukkan variasi. Aluminium relatif stabil di US$ 2.707 per ton, sementara nikel mengalami penurunan 0,2% menjadi US$ 15.400. Timah juga mengalami penurunan sebesar 0,8% menjadi US$ 37.155, dan timbal turun tipis 0,1% menjadi US$ 2.018. Di sisi lain, seng mencatat kenaikan sebesar 0,2% menjadi US$ 3.038,5.

ANZ juga mencatat bahwa harga aluminium berhasil menembus level US$ 2.700 per ton pada pekan sebelumnya, didorong oleh kekhawatiran pasokan dan permintaan yang tetap kuat seiring dengan peningkatan tingkat operasi.

Perlu dicatat bahwa pasar China sedang dalam masa libur Golden Week sejak 1 Oktober dan akan kembali beroperasi pada 8 Oktober. Absennya China dari pasar selama periode ini dapat memengaruhi dinamika perdagangan logam global dalam jangka pendek.

Tags:

Share:

Related Post