Perjanjian Dagang Bikin Penerimaan Negara Jebol? Ini Kata Kemenkeu!

Admin

No comments

Sibisnis – JAKARTA — Pemerintah mengantisipasi potensi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) dan berbagai perjanjian perdagangan bebas. Sebagai respons, pemerintah berencana memperluas basis penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai pada tahun 2026.

Dalam rapat Komisi XI DPR pada Senin (17/11/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa target penerimaan bea cukai tahun depan sebesar Rp336 triliun berpotensi terpengaruh oleh dinamika global, terutama respons pemerintah terhadap kebijakan perdagangan negara lain.

Dinamika utama yang dimaksud adalah pengenaan bea masuk impor resiprokal oleh AS. Implikasinya, produk dan komoditas asal Indonesia akan dikenakan tarif impor sebesar 19% saat memasuki pasar AS. Sementara itu, produk dan komoditas asal AS yang masuk ke Indonesia akan dikenai tarif 0%.

Baca Juga: Mobil Eropa Bebas Bea Masuk Indonesia, Volkswagen Bakal Pangkas Harga?

Sebagai penyeimbang terhadap kebijakan tarif AS, pemerintah Indonesia juga aktif menjalin perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA), salah satunya dengan Uni Eropa (IEU-CEPA). Langkah ini diharapkan dapat memperluas pasar ekspor Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Namun, implementasi CEPA juga membawa konsekuensi. Indonesia dan Uni Eropa akan saling memberikan insentif, termasuk pembebasan bea masuk untuk pengiriman barang antar kedua wilayah.

Baca Juga: Lindungi Industri Tekstil, Purbaya Kenakan Bea Masuk Pengamanan Benang Kapas

“Ke depan, hal ini akan menjadi sumber risiko bagi pendapatan negara. Mengapa? Karena kita harus memberikan konsesi dalam konteks perjanjian dagang dengan Amerika dan juga Eropa. IEU-CEPA yang baru ditandatangani akan menyebabkan banyak penurunan bea masuk dan bea keluar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelas Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Febrio menambahkan bahwa pemerintah Indonesia terus berupaya menyelesaikan negosiasi dengan AS. Selain menyusun *legal drafting*, pemerintah juga mengupayakan pengecualian komoditas asli Indonesia seperti kakao, sawit, serta tekstil dan alas kaki dari tarif 19% yang diberlakukan AS.

Meskipun demikian, Dirjen Kemenkeu ini tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia akan tetap positif. Keyakinan ini didasarkan pada kinerja PDB kuartal III/2025, di mana ekspor mencatat pertumbuhan hingga 9,91% (yoy). Namun, perlu dicatat bahwa pertumbuhan tinggi ini sebagian disebabkan oleh *frontloading* yang dilakukan eksportir untuk menghindari tarif 19% ke AS.

Menghadapi potensi penurunan penerimaan akibat tarif AS dan IEU-CEPA, pemerintah berupaya mencari peluang penerimaan lain dari sektor kepabeanan dan cukai. Rencananya, pemerintah akan mengenakan bea keluar untuk emas dan batu bara, serta cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Di sisi lain, pemerintah juga telah memperoleh sumber penerimaan kepabeanan baru melalui bea keluar tembaga, seiring dengan kebijakan Kementerian ESDM yang mengizinkan ekspor konsentrat untuk sementara waktu.

“Konsentrat tembaga dikenakan bea keluar, sehingga memberikan pendapatan. Namun, ini sifatnya tidak permanen, karena arah kebijakan hilirisasi tetap menjadi prioritas,” tegas Febrio.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, memproyeksikan bahwa prospek ekspor Indonesia secara umum akan tetap cerah meskipun ada penerapan tarif 19%. Ia mengakui bahwa beberapa komoditas tertentu, seperti perikanan, minyak sawit olahan, dan komponen otomotif, berpotensi mengalami tekanan.

Yusuf memperkirakan bahwa penurunan ekspor sebesar 12,4% yang terjadi pada Januari–Agustus 2025 dapat distabilkan melalui peningkatan impor energi dan produk pertanian dari AS, dengan nilai mencapai US$15 miliar.

“Strategi ini membantu menjaga akses pasar sekaligus menyeimbangkan neraca perdagangan dalam jangka pendek,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025).

Selain itu, dampak IEU-CEPA dan perjanjian perdagangan bebas lainnya dengan UAE, EFTA, Kanada, dan Australia juga diperkirakan akan signifikan terhadap ekspor Indonesia.

Perjanjian-perjanjian perdagangan bebas tersebut mencakup penghapusan lebih dari 98% tarif pada produk ekspor strategis. Penerapan tarif 0% untuk ekspor Indonesia ke negara-negara mitra diyakini dapat meningkatkan daya saing harga dan membuka peluang penetrasi pasar yang sebelumnya terhambat oleh hambatan non-tarif.

Yusuf memprediksi bahwa komoditas seperti minyak sawit, perikanan, dan komponen otomotif akan mengalami ekspansi volume ekspor yang substansial.

“Secara kuantitatif, proyeksi pertumbuhan ekspor dapat mencapai 8–10% pada 2026, dengan kontribusi ekspor terhadap PDB tetap di kisaran 23–24%,” jelas Yusuf.

Namun, kebijakan baru di bidang kepabeanan ini berpotensi menekan penerimaan APBN dari sektor tersebut. Pada APBN 2026, target penerimaan kepabeanan dan cukai ditetapkan sebesar Rp336 triliun.

“Meskipun pendapatan kepabeanan hingga Maret 2025 masih tumbuh 9,6% menjadi Rp77,5 triliun berkat meningkatnya volume perdagangan, potensi pengurangan tarif dari CEPA dan impor bebas tarif dari AS bisa menurunkan *revenue* secara signifikan jika tidak diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan dan investasi asing langsung,” pungkasnya.

Share:

Related Post