Sibisnis – JAKARTA. Pasar keuangan Indonesia, khususnya Surat Berharga Negara (SBN), tengah mengalami tekanan jual dari investor asing. Gelombang *outflow* dana asing ini terpantau sejak awal September 2025 dan intensitasnya terus meningkat hingga saat ini, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa dalam periode 10-13 November 2025, terjadi jual neto oleh investor nonresiden di pasar obligasi pemerintah (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Tekanan jual paling signifikan terasa di pasar SBN, mencapai Rp 6,33 triliun.
Angka ini menunjukkan peningkatan yang cukup tajam dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Pada periode 3-6 November 2025, *outflow* dana asing di pasar SBN tercatat sebesar Rp 2,69 triliun. Artinya, dalam sepekan, tekanan jual asing di pasar obligasi pemerintah meningkat lebih dari dua kali lipat.
Secara akumulatif, pada pekan kedua November 2025, total dana asing yang keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 3,79 triliun. Bahkan, jika ditarik sejak awal tahun 2025, total *outflow* dana asing di seluruh pasar sudah mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu Rp 34,68 triliun.
Dana Asing Keluar dari SBN dan Masuk ke Pasar Saham di Pekan Lalu, Ini Kata Analis
Fudji Rahardjo, Chief Dealer Fixed Income & Derivatives PT Bank Negara Indonesia (BNI), menjelaskan bahwa tren tekanan jual asing di pasar SBN ini dipicu oleh meningkatnya preferensi investor global terhadap aset yang dianggap lebih aman (*risk-off*). Hal ini sejalan dengan ketidakpastian arah kebijakan moneter The Fed dan ekspektasi suku bunga global yang akan bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu, dinamika geopolitik global dan penguatan nilai tukar dolar AS juga turut mendorong investor untuk melakukan *rebalancing* portofolio, mengurangi eksposur mereka terhadap pasar negara berkembang (*emerging markets*), termasuk Indonesia.
Senada dengan Fudji, Ahmad Nasrudin, Fixed Income Analyst PEFINDO, menegaskan bahwa sentimen utama yang menyebabkan *outflow* dana asing dari pasar SBN berasal dari faktor eksternal.
Ia menyoroti penguatan dolar AS yang tercermin dari kenaikan Indeks Dolar AS (DXY) sebesar 1,67% *month-on-month* (MoM) dan kenaikan imbal hasil (yield) US Treasury, di mana yield tenor 10 tahun naik 16 basis poin (bps) MoM.
Selain itu, pasar India juga menjadi tujuan menarik bagi investor karena menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, meskipun kedua negara memiliki peringkat investasi yang sama.
“Akibatnya, investor global terdorong untuk mengalihkan portofolio mereka ke aset yang lebih rendah risiko (melakukan *rebalancing*),” jelas Ahmad kepada Kontan, Kamis (20/11/2025).
Lebih lanjut, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan kekhawatiran terkait kebijakan fiskal dalam negeri juga berkontribusi terhadap *outflow* dana asing. Pasar mencermati potensi perubahan batas defisit anggaran yang telah berlaku selama beberapa dekade.
“Investor merasa cemas bahwa Menteri Keuangan, Purbaya, mungkin berupaya merevisi batas defisit anggaran. Revisi ini dikhawatirkan dapat membuka jalan bagi peningkatan belanja pemerintah,” lanjut Ahmad.
Yield SBN Naik, Tekanan Outflow Asing Masih Jadi Beban
Di sisi lain, sebagian investor tampak lebih tertarik pada pasar saham, mencari potensi keuntungan yang lebih tinggi di tengah era suku bunga yang relatif rendah, seiring dengan harapan perbaikan di sektor riil setelah penurunan suku bunga.
BI juga mencatat penurunan yield SBN tenor 10 tahun ke level 6,12% pada akhir perdagangan Kamis (13/11). Menurut Ahmad, penurunan ini lebih didorong oleh valuasi yield itu sendiri.
Sebelumnya, yield SBN sempat menyentuh level 5,9% menjelang akhir Oktober 2025. Kenaikan yield setelahnya disebabkan oleh terbatasnya potensi penurunan lebih lanjut. Selain itu, penurunan ke level tersebut membuat SBN dinilai sudah terlalu mahal dan membutuhkan katalis baru untuk melanjutkan tren penurunan.
Ahmad memproyeksikan bahwa hingga akhir tahun, yield SBN kemungkinan akan bergerak di kisaran 4,9% hingga 6,2%, dengan kecenderungan di sekitar 6%.
“Yield yang lebih rendah ke depan itu sesuatu yang normal mempertimbangkan peluang berlanjutnya pemangkasan suku bunga BI. Selain itu, gelontoran dana dari Kemenkeu diharapkan dapat meningkatkan likuiditas, yang mana bisa mendorong suku bunga turun dan yield akan mengikutinya,” ungkap Ahmad.
Berbeda dengan Ahmad, Fudji berpendapat bahwa penurunan yield SBN 10 tahun ke level 6,12% lebih disebabkan oleh faktor domestik, terutama stabilitas makroekonomi, respons kebijakan BI dalam menjaga kredibilitas inflasi, serta meningkatnya permintaan dari investor domestik, baik institusi maupun perbankan, yang menahan volatilitas harga di pasar sekunder.
“Ke depan, yield SBN 10 tahun berpotensi bergerak di rentang 6%–6,30% hingga akhir 2025, dengan bias penurunan terbatas apabila tekanan global mulai mereda dan inflasi domestik tetap terkendali,” prediksi Fudji.
Secara umum, prospek pasar SBN hingga akhir tahun 2025 dan memasuki tahun 2026 masih terlihat cukup positif, meskipun risiko eksternal tetap perlu diwaspadai.
Fudji menjelaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia yang solid, termasuk stabilitas inflasi, defisit fiskal yang terjaga, dan prospek pertumbuhan ekonomi yang *resilient*, menjadi faktor pendukung utama. Namun, volatilitas yang bersumber dari ketidakpastian suku bunga global dan potensi penguatan dolar AS dapat sewaktu-waktu membatasi aliran modal masuk.
Kuota SBN Ritel Terakhir di 2025 Sebesar Rp 10 Triliun, Cek Besaran Kuponnya
Katalis positif lainnya dapat muncul dari rilis data makroekonomi domestik, seperti inflasi yang terkendali, surplus neraca perdagangan, dan prospek fiskal pemerintah yang positif, yang dapat memperkuat persepsi bahwa imbal hasil riil SBN Indonesia tetap kompetitif.
“Dengan demikian, meskipun investor asing masih bersikap hati-hati pada periode ini, potensi *re-entry* akan meningkat ketika volatilitas global mereda dan prospek *carry trade* kembali menarik,” beber Fudji.
Sementara itu, Ahmad menilai bahwa peluang masuknya kembali aliran dana asing ke SBN dalam waktu dekat masih terbatas, mengingat sentimen eksternal dan kekhawatiran fiskal domestik yang ada saat ini.
Meskipun demikian, Indonesia tetap memiliki potensi *entry* yang menarik jika faktor-faktor risiko tersebut mereda. Menurut Ahmad, waktu yang paling prospektif bagi investor untuk *re-entry* kemungkinan besar adalah menjelang akhir kuartal I 2026 atau kuartal II 2026, ketika The Fed diperkirakan mulai memberikan sinyal *dovish* yang lebih jelas dan ketidakpastian politik domestik mereda.
“Pada titik tersebut, SBN Indonesia yang telah terkoreksi akan menawarkan tingkat imbal hasil riil yang kompetitif, mendorong investor untuk melakukan *rebalancing* kembali ke pasar yang dinilai memiliki potensi keuntungan tinggi,” pungkasnya.





