JAKARTA, Sibisnis – PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) menunjukkan ketahanan bisnis yang solid di tengah tantangan harga livebird yang melemah pada semester I tahun ini. Emiten unggas ini berhasil mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 7% secara tahunan, mencapai Rp 1,9 triliun. Capaian ini memenuhi 45% dari estimasi konsensus analis dan 49% dari proyeksi Maybank Sekuritas Indonesia.
Namun, Analis Maybank Sekuritas Indonesia, Jocelyn Santoso, dalam risetnya yang dirilis pada 6 Agustus 2025, menyoroti bahwa realisasi laba ini masih di bawah rata-rata tiga tahun terakhir (63%) dan rata-rata lima tahun (62%). Pendorong utama pertumbuhan laba CPIN adalah penurunan biaya keuangan sebesar 22% menjadi Rp 287,9 miliar serta penurunan beban pajak penghasilan sebesar 23% secara tahunan menjadi Rp 556,3 miliar.
“Kami juga mencatat persediaan CPIN yang mencapai Rp 10,2 triliun, menjadi yang tertinggi dalam empat kuartal terakhir,” ungkap Jocelyn. Hal ini mengindikasikan strategi CPIN untuk memaksimalkan penggunaan internal broiler (ayam pedaging) dalam produksi produk olahan. Langkah ini dinilai efektif dalam menjaga margin laba perusahaan di tengah fluktuasi harga livebird.
Anomali di Bulan Sura, Jadikan CPIN Jadi Emiten Unggas Pilihan
Meskipun demikian, kinerja CPIN pada kuartal II tahun 2025 mengalami penurunan. Laba perusahaan tercatat turun 66% secara tahunan dan 76% secara kuartalan, menjadi Rp 363 miliar. Penjualan bersih juga mengalami tekanan, turun 13% secara kuartalan dan 10% secara tahunan, menjadi Rp 15,4 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi unggas dan penurunan harga livebird rata-rata sebesar 15% secara kuartalan dan 21% secara tahunan, menjadi Rp 16.326 per kg.
Akibatnya, margin laba CPIN pada kuartal II tahun ini menyusut secara signifikan, dengan margin bersih hanya mencapai 1,3%. Angka ini menurun 358 bps secara kuartalan dan 216 bps secara tahunan. CPIN bahkan membukukan kerugian EBIT di segmen broiler, DOC (day old chick), dan segmen lainnya, dengan hanya segmen ayam olahan yang mampu mempertahankan EBIT positif selama empat kuartal berturut-turut.
“Kami menurunkan asumsi pertumbuhan harga jual rata-rata (ASP) di tahun ini sebesar 300 bps untuk mencerminkan harga livebird yang lebih lemah dari perkiraan pada kuartal II tahun ini,” jelas Jocelyn. Imbasnya, proyeksi margin EBIT juga dipangkas sebesar 54 bps menjadi 7,2%.
Terlepas dari tantangan jangka pendek, Jocelyn tetap mempertahankan pandangan optimis terhadap prospek CPIN untuk periode 2025-2027. Optimisme ini didasarkan pada ekspektasi peningkatan PDB per kapita dan implementasi program NMP gratis dari pemerintah.
“Kami tetap memproyeksikan pertumbuhan EPS yang kuat sebesar 22%-24% di tahun 2026-2027, meskipun telah mengambil pendekatan yang lebih konservatif dengan menurunkan proyeksi laba bersih sebesar -11% di 2026, -10% di 2026 dan -6% di tahun 2027,” lanjut Jocelyn.
Cek Rekomendasi Teknikal ENRG, CMRY, CPIN untuk Perdagangan Jumat (18/7)
Dengan prospek tersebut, Jocelyn mempertahankan rekomendasi beli untuk saham CPIN dengan target harga Rp 6.000 per saham, setelah menggulirkan basis valuasi ke tahun keuangan 2026. Target ini menyiratkan target PER sebesar 23,4x (-0,5 standar deviasi dari rata-rata 3 tahunnya). “Kami tetap menyukai CPIN karena posisi industrinya yang kuat (sekitar 31% pangsa pasar), yang kami yakini akan mendapat manfaat dari pergeseran konsumsi masyarakat Indonesia dari protein nabati murah ke protein hewani,” tegasnya.
Jocelyn juga mengantisipasi dampak positif dari program NMP (nutrisi makanan protein) gratis dari pemerintah pada paruh kedua 2025, yang diharapkan dapat menstabilkan harga livebird yang saat ini masih lemah.
Pada perdagangan Kamis (7/8), harga saham CPIN mengalami penurunan sebesar 1,95% menjadi Rp 4.530 per saham.