Sibisnis JAKARTA. Di usia ke-80, Indonesia telah mencatatkan berbagai pencapaian ekonomi yang membanggakan. Namun, di balik gemerlap pembangunan, kemerdekaan finansial masih menjadi impian yang jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat.
Kemerdekaan finansial adalah kemampuan seseorang untuk mengelola keuangan secara bijak, mencukupi kebutuhan hidup saat ini, dan sekaligus mempersiapkan masa depan dengan tenang. Investasi, khususnya di pasar saham, seringkali dianggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan tersebut, berkat potensinya dalam menciptakan ketahanan finansial jangka panjang.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kapitalisasi pasar telah melampaui Rp 14.247 triliun, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 7.898,37 pada hari Jumat, 15 Agustus 2025.
Bahkan, pada perdagangan hari Jumat tersebut, IHSG sempat menembus level psikologis 8.000 dan mencapai titik tertinggi di 8.017,06, bertepatan dengan pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR 2025.
Begini Prediksi Arah Gerak IHSG Usai Sentuh Rekor Tertinggi Sepanjang Masa
Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, mengungkapkan bahwa IHSG mencetak sejarah baru dengan melampaui level 8.000, didukung oleh rekor kapitalisasi pasar dan peningkatan aktivitas perdagangan yang signifikan di berbagai instrumen pasar modal.
Rekor penutupan IHSG tertinggi sebelumnya terjadi pada Kamis, 14 Agustus 2025, di level 7.931,25, dengan kapitalisasi pasar mencapai rekor Rp 14.315 triliun pada hari yang sama.
Kautsar menegaskan bahwa pencapaian ini mencerminkan meningkatnya kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia, di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.
“Ini sekaligus menjadi kontribusi nyata investor pasar modal bagi perekonomian nasional di momen HUT ke-80 Republik Indonesia,” ujar Kautsar dalam keterangan resminya, Jumat (15/8/2025).
Partisipasi publik di pasar modal juga menunjukkan tren positif, dengan total Single Investor Identification (SID) saham mencapai 7.490.594 investor hingga pertengahan Agustus 2025 (data per 14 Agustus 2025). Total SID pasar modal secara keseluruhan mencapai 17.680.869 investor.
Kautsar menambahkan bahwa data perdagangan saham di BEI selama periode 11–15 Agustus 2025 ditutup di zona positif. Peningkatan tertinggi terjadi pada rata-rata nilai transaksi harian BEI, melonjak 24,6% menjadi Rp 21,32 triliun dari Rp 17,07 triliun pada pekan sebelumnya.
Kenaikan ini diikuti oleh rata-rata volume transaksi harian bursa yang meningkat 19,55% menjadi 35,88 miliar lembar saham dari 30,01 miliar lembar saham pada pekan sebelumnya. Rata-rata frekuensi transaksi harian juga naik 5,87% menjadi 2,08 juta kali transaksi dari 1,96 juta transaksi pada pekan lalu.
Kapitalisasi pasar BEI juga mengalami peningkatan sebesar 5,11% menjadi Rp 14.247 triliun dari Rp 13.555 triliun pada pekan sebelumnya.
Arah pasar saham
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, pergerakan pasar saham di Indonesia masih didominasi oleh emiten-emiten besar di bawah naungan grup konglomerasi.
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, berpendapat bahwa laju IHSG saat ini lebih banyak didorong oleh saham-saham milik grup konglomerasi besar. Fenomena ini, menurutnya, mulai terlihat sejak 2023 seiring dengan masuknya emiten jumbo seperti PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) melalui penawaran umum perdana (IPO).
“IHSG itu tidak mencerminkan situasi pasar saham yang sesungguhnya, karena di luar saham-saham grup konglomerasi sebenarnya mayoritas saham itu masih enggak kemana-mana,” kata Teguh kepada Kontan, Minggu (17/8/2025).
Teguh memperkirakan dominasi saham konglomerasi masih akan berlanjut dalam satu hingga dua tahun ke depan, mengingat masih ada rencana IPO dari grup besar lainnya.
Meskipun demikian, bagi investor yang mengutamakan analisis fundamental, Teguh menyarankan untuk lebih fokus pada sektor dengan prospek jangka panjang, terutama saham-saham di sektor komoditas yang masih memiliki katalis kuat.
Teguh merinci beberapa sektor komoditas utama yang layak diperhatikan. Pertama, komoditas minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Permintaan CPO saat ini tidak hanya untuk minyak goreng, tetapi juga untuk biodiesel sebagai pengganti solar. Hal ini menekan volume ekspor CPO Indonesia, sehingga pasokan di pasar global berkurang dan mendorong kenaikan harga.
“Harga CPO yang naik itu membuat perusahaan-perusahaan sawit kita untung,” ucap Teguh.
Kedua, komoditas batubara. Setelah sempat terkoreksi, harga batubara kini kembali menunjukkan tren kenaikan. Selain itu, sektor nikel yang terkait dengan hilirisasi, serta saham-saham yang berkaitan dengan emas, juga dinilai masih menarik untuk dicermati.
Di sisi lain, sektor-sektor seperti ritel dan perbankan baru akan bergerak lebih solid jika ada dorongan dari belanja pemerintah dan peningkatan perputaran uang di masyarakat.
“Dalam hal ini situasinya berbeda dengan lima atau sepuluh tahun yang lalu, di mana kalau IHSG naik itu kita harus waspada, sekarang enggak. Kita bisa fokus saja ke fundamental perusahaan,” jelas Teguh.
Cetak Rekor Tertinggi Baru, Market Cap IHSG Jadi yang Tertinggi di ASEAN
Dengan demikian, Teguh merekomendasikan saham-saham di sektor komoditas seperti PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), PT Archi Indonesia Tbk (ARCI), PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
Dihubungi secara terpisah, VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menilai bahwa valuasi IHSG dengan forward Price-to-Earnings ratio (PE) 13,28 kali per 15 Agustus belum menunjukkan nilai wajar, karena masih berada di kisaran rata-rata tiga tahun terakhir. Namun, posisi ini mengindikasikan bahwa indeks sudah tidak lagi tergolong undervalued seperti pada awal tahun 2025.
Menurutnya, IHSG baru akan memasuki level valuasi premium jika PE bergerak pada rentang 14,5–15,6 kali, karena sudah mendekati standar deviasi +1 hingga +2 kali.
“Kami berpandangan dengan penguatan yang masih belum sepenuhnya didorong oleh emiten berbobot besar seperti di sektor keuangan, telekomunikasi dan industri, maka IHSG masih memiliki ruang penguatan,” jelas Audi kepada Kontan, Minggu (17/8/2025).
Namun, ia mengingatkan bahwa jika sektor-sektor utama tersebut bergerak lebih lambat, pergerakan IHSG akan tetap cenderung volatil. Kondisi ini bisa semakin dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kebijakan tarif Amerika Serikat, tensi geopolitik global, maupun arah kebijakan moneter yang belum stabil sepenuhnya.
Arus dana asing
Sepanjang pekan lalu, pasar saham Indonesia dibanjiri aliran dana asing. Investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) sekitar Rp 5 triliun. Meskipun terlihat signifikan, jumlah tersebut sebenarnya masih kecil jika dibandingkan dengan tren sejak awal tahun.
Teguh menjelaskan bahwa secara kumulatif sejak awal tahun 2025, posisi asing di pasar saham Indonesia masih mencatatkan penjualan bersih (net sell) Rp 55 triliun. Sebelumnya, angka itu sempat mencapai Rp 60 triliun, lalu berkurang karena masuknya dana Rp 5 triliun pada pekan lalu.
Menurut Teguh, aksi beli yang sesekali dilakukan asing tidak menjamin tren pembelian akan berlanjut. Pasalnya, kondisi ekonomi dalam negeri masih menghadapi tantangan, mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga minimnya belanja pemerintah.
Teguh memprediksi peluang net buy cukup berat hingga akhir tahun 2025. Sebab, untuk menutup posisi net sell Rp 55 triliun, asing harus masuk dengan dana minimal Rp 55 triliun lagi agar posisinya kembali net buy.
“Kemungkinan net sell bisa bertambah lagi, yang sekarang Rp 55 triliun bisa jadi Rp 60 triliun-Rp 70 triliun. Meskipun tetap kondisi ini juga tergantung situasi ekonomi,” jelas Teguh.
Pendekatan Investasi Jangka Panjang Jadi Fokus dalam Diskusi Pasar Modal
Lebih lanjut, Teguh menyoroti kondisi belanja pemerintah yang masih terbatas. Hal ini disebabkan sebagian besar anggaran dialihkan untuk membiayai program baru, seperti Makan Bergizi Gratis hingga Koperasi Desa Merah Putih.
Ia menilai bahwa program tersebut memang berpotensi mendorong perputaran uang di masyarakat sekaligus memberi efek positif pada ekonomi. Namun, kenaikan belanja negara juga harus diimbangi dengan pemasukan yang memadai.
“Kalau pengeluaran digenjot tapi pemasukkan tidak sesuai target, artinya APBN kita defisit. Untuk menutup defisit pakai utang, artinya ambil uang dari luar negeri lagi. Imbasnya rupiah melemah dan asing enggak jadi masuk,” papar Teguh.
Sementara itu, Audi meyakini arus inflow asing masih akan berlanjut ke IHSG seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter dan stabilitas ekonomi dalam negeri. Sektor yang berpotensi mencatatkan inflow antara lain keuangan, telekomunikasi, hingga barang baku.
“Saat ini investor harus dapat memanfaatkan momentum penguatan untuk capital gain dan longterm untuk dividen, terlebih emiten yang royal membagikan dividen masih beberapa yang belum sepenuhnya menguat,” tutup Audi.