CENTER of Economic and Law Studies (Celios) mengkritisi potensi pendanaan program prioritas Presiden Prabowo Subianto melalui skema burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurut Celios, tidak ada urgensi yang memadai untuk menerapkan skema ini.
“Kalau mencetak uang tanpa justifikasi yang kuat, kredibilitas BI yang pertama kali akan hilang,” tegas Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, saat dihubungi pada Jumat, 5 September 2025.
Salah satu program Asta Cita yang direncanakan akan didanai melalui mekanisme burden sharing adalah proyek tiga juta rumah subsidi. Askar mengingatkan, penerapan skema ini berpotensi memicu overheating economy. Jika dana yang dikucurkan melebihi kebutuhan riil, inflasi bisa menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Lebih lanjut, Askar menyoroti potensi moral hazard yang dapat timbul akibat burden sharing. Langkah BI dalam skema ini dikhawatirkan dapat mengganggu disiplin dalam rancangan belanja negara. Akibatnya, disiplin fiskal bisa menjadi lebih longgar dan kurang terkontrol.
Askar juga mewanti-wanti bahwa skema burden sharing berpotensi membuka pintu bagi proyek-proyek populis yang tidak produktif untuk mendapatkan pembiayaan dari kelebihan uang. “Bisa saja nanti banyak aktor usaha melakukan spekulasi, entah itu di properti, saham. Kekhawatiran terbesarnya adalah timbulnya bubble, yang sangat berbahaya bagi keuangan nasional,” jelasnya.
Menurutnya, kredibilitas Bank Indonesia juga terancam jika skema ini ditempuh tanpa dasar urgensi yang jelas. Askar menekankan bahwa burden sharing seharusnya hanya diterapkan dalam kondisi darurat negara.
Selain itu, penerapan burden sharing harus didasarkan pada perhitungan ekonomi makro yang cermat dan memiliki kerangka hukum yang solid. Askar menilai bahwa program tiga juta rumah saat ini belum memenuhi kriteria tersebut. “Kerangka hukumnya masih berantakan, termasuk juga pengawasannya. Jadi, ada potensi masalah yang akan timbul,” ungkapnya.
Rencana burden sharing ini pertama kali diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja daring bersama DPD RI pada Selasa, 2 September 2025. Dalam penjelasannya, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Sebagian dari dana hasil pembelian tersebut akan dialokasikan oleh Kemenkeu untuk program-program seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.
“Dengan burden sharing atau pembagian beban bunga antara BI dan Kemenkeu, beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita akan berkurang,” kata Perry.
BI dan Kemenkeu telah sepakat untuk berbagi beban bunga SBN melalui mekanisme burden sharing, masing-masing menanggung setengahnya. Perry mencontohkan, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban efektif masing-masing pihak sebesar 2,9 persen. Sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya 2,15 persen.
Pembagian beban bunga ini dihitung dari selisih antara bunga SBN 10 tahun dan hasil penempatan pemerintah di perbankan. Kemudian, sisa bunga tersebut dibagi dua. “BI berkomitmen untuk bersinergi dan berkomitmen erat dengan kebijakan pemerintah, mendukung Asta Cita, menjaga stabilitas ekonomi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk ekonomi kerakyatan dan juga untuk Indonesia maju,” pungkas Perry.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Burden Sharing, Titah Jokowi yang Kini Mencekik Bank Indonesia