Sibisnis – Pasar saham Indonesia menunjukkan volatilitas dengan penutupan akhir pekan lalu di level 7.537, sedikit melemah sekitar 0,08% dibandingkan minggu sebelumnya. Di tengah koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ini, investor asing tercatat melakukan aksi jual (outflow) yang signifikan di pasar reguler, mencapai Rp 16,4 triliun.
David Kurniawan, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), memberikan pandangannya terkait pergerakan pasar. Secara teknikal, David melihat bahwa IHSG telah berhasil menembus level psikologis 7.000, yang mengindikasikan optimisme di kalangan pelaku pasar. “Meski demikian, investor perlu tetap waspada,” ujarnya, “karena saat ini IHSG cenderung overbought setelah mengalami kenaikan sebesar 8% di bulan Juli.”
Lebih lanjut, David menyoroti ketangguhan IHSG di tengah ketidakpastian ekonomi global. “IHSG tetap menunjukkan ketangguhannya di tengah ketidakpastian global. Indeks ini sempat menguji level resistansi penting, namun berhasil bertahan di atas level MA20. Ini menandakan bahwa optimisme para investor masih kuat,” jelasnya, Senin (4/8).
Pelemahan IHSG pada pekan sebelumnya, menurut David, dipengaruhi oleh kombinasi sentimen global dan domestik. Dari sisi global, tekanan datang dari harga komoditas utama seperti minyak mentah, nikel, dan batu bara yang mengalami penurunan dalam beberapa pekan terakhir. Penurunan harga nikel disebabkan oleh kelebihan pasokan (over supply) dan rendahnya permintaan dari China. Sementara itu, harga minyak mentah sempat tertekan akibat peningkatan data cadangan dan produksi di Amerika Serikat.
Selain itu, ekspektasi terkait kebijakan suku bunga The Fed juga turut memengaruhi pasar. Meskipun The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga, data inflasi AS terbaru menunjukkan tren yang moderat, yang mendorong ekspektasi pasar bahwa bank sentral AS tersebut akan mulai mempertimbangkan pemangkasan suku bunga pada kuartal IV-2025.
Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari sektor kelapa sawit. “Ekspor kelapa sawit Indonesia ke India diproyeksikan kembali menembus angka 5 juta ton pada tahun 2025,” ungkap David. Proyeksi ini didorong oleh penurunan tarif impor India menjadi 10% dari sebelumnya 20%, yang membuka peluang pasar baru bagi emiten-emiten sawit nasional.
Menjelang pekan ini, 4-8 Agustus 2025, David menyoroti adanya perlambatan pertumbuhan laba di beberapa sektor besar, termasuk perbankan. “Secara umum beberapa sektor besar, seperti perbankan mengalami perlambatan pertumbuhan laba, bahkan beberapa big banks mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya slow economic growth, meski masih akan banyak perusahaan yang melaporkan laporan keuangannya,” pungkasnya, mengisyaratkan investor perlu mencermati laporan keuangan yang akan dirilis untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi fundamental perusahaan.