Bisnis, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) semakin gencar dalam mendukung pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Tercatat, BI telah menyerap Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp289,9 triliun, yang sebagian besar dilakukan melalui skema debt switching.
Meskipun terdapat berbagai interpretasi mengenai mekanisme debt switching, secara umum, skema ini dipahami sebagai penggantian surat utang lama yang telah jatuh tempo dengan surat utang baru yang memiliki tenor atau jatuh tempo yang lebih panjang.
Tujuan utama dari penerapan skema ini adalah untuk menjaga profil utang pemerintah, terutama mengingat kinerja APBN 2025 yang kurang menggembirakan. Realisasi penerimaan negara hingga September 2025 mengalami kontraksi. Sementara itu, realisasi belanja cenderung konservatif dengan kualitas yang menurun karena sebagian besar dialokasikan untuk pembayaran bunga utang.
Baca Juga: Klarifikasi Bos BI soal Kehadiran Wamenkeu Thomas Djiwandono di RDG November 2025
“Bank Indonesia membeli SBN sebagai wujud sinergi erat antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers daring pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) November 2025, Rabu (19/11/2025).
Namun demikian, keterlibatan BI dalam pembiayaan APBN memunculkan pertanyaan mengenai independensi bank sentral di masa depan. Padahal, sejak era reformasi, BI secara bertahap telah membebaskan diri dari intervensi eksekutif.
Baca Juga: Ekonom Sebut Penurunan BI Rate Masih Terbuka, Tapi Ada Syaratnya
Sejak pandemi Covid-19 hingga implementasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), independensi BI seolah terancam karena terus didorong untuk keluar dari tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kebijakan BI cenderung diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (pro growth) dan secara aktif terlibat dalam pembiayaan APBN.
Baca Juga: BI Rate Tetap 4,75%, Apindo Ungkap Efek ke Dunia Usaha
Selain itu, pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 19 November 2025 lalu juga diwarnai dengan kehadiran Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono. Kehadiran representasi pemerintah dalam RDG BI, setidaknya dalam lima tahun terakhir, merupakan hal yang tidak lazim.
Perry Warjiyo menjelaskan bahwa kehadiran Wamenkeu Djiwandono dalam RDG November 2025 telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) BI. Bahkan, Perry menilai perlu mengundang Menteri Keuangan dalam setiap RDG bulanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a UU BI.
“Guna memperkuat koordinasi kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal pemerintah yang selama ini telah erat, semakin dipererat untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan bersama mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Perry.
Perry menambahkan bahwa menteri yang mewakili pemerintah hanya memiliki hak bicara tanpa hak suara dalam RDG BI. Ia juga menyampaikan bahwa Thomas Djiwandono memberikan banyak informasi penting dalam RDG bulan ini, termasuk langkah-langkah bersama dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan melalui kebijakan fiskal dan moneter yang lebih terkoordinasi.
“Pentingnya membangun ekspektasi secara positif secara bersama baik oleh BI maupun melalui pemerintah,” imbuhnya.
Perry juga mengungkapkan bahwa pemerintah melalui Wamenkeu memberikan pembaruan mengenai ekspansi fiskal pada kuartal IV/2025. Belanja pemerintah dilaporkan meningkat, baik untuk pengeluaran kementerian/lembaga maupun program sosial dan ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga memaparkan rencana penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik maupun internasional. “Dengan sinergitas ini, rencana penerbitan SBN di dalam maupun luar negeri akan semakin bagus sinerginya dengan operasi moneter oleh BI,” jelasnya.
Peluang Penurunan Suku Bunga
Selain melalui pembiayaan APBN, keberpihakan BI terhadap pertumbuhan ekonomi juga diwujudkan melalui penerapan kebijakan moneter yang semakin adaptif. Namun demikian, dalam RDG terakhir, otoritas moneter mulai kembali fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Ekonom Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA), Mika Martumpal, menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate semakin terbatas. Hal ini tercermin dari selisih antara BI Rate dan inflasi domestik yang hanya berkisar 200-225 basis poin (bps), sehingga ruang pelonggaran tambahan menjadi lebih kecil.
Mika menjelaskan bahwa BI sepanjang tahun 2025 telah menurunkan BI Rate dan imbal hasil instrumen operasi moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sebagai informasi, BI Rate telah turun sebesar 150 bps, yaitu 25 bps pada September 2024 dan 125 bps selama 2025, menjadi 4,75% hingga Oktober 2025, yang merupakan level terendah sejak 2022. Sementara itu, instrumen moneter SRBI turun dari Rp916,97 triliun pada awal 2025 menjadi Rp699,30 triliun pada 17 November 2025.
“Langkah ini telah membantu peningkatan likuiditas di dalam negeri dan menurunkan biaya bunga perbankan,” kata Mika kepada Bisnis, Rabu (19/11/2025).
Menurutnya, dengan beban pendanaan yang lebih ringan, penyaluran kredit diyakini dapat tumbuh lebih baik. Di sisi lain, stimulus fiskal pemerintah juga diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dan dunia usaha.
Mika menambahkan bahwa kombinasi antara bunga kredit yang lebih rendah dan sentimen ekonomi yang lebih positif menjadi modal untuk mengakselerasi pertumbuhan kredit dan aktivitas ekonomi nasional.
Meskipun ruang penurunan suku bunga semakin terbatas, Mika menilai peluang pemangkasan lanjutan masih terbuka pada Desember 2025. Kendati demikian, hal tersebut sangat bergantung pada kondisi nilai tukar. “Penurunan suku bunga BI Rate masih mungkin di bulan Desember 2025 jika kurs USDIDR turun ke bawah 16.500,” pungkasnya.





