Sepekan setelah The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, harga Bitcoin masih terus bergejolak. Sempat menyentuh level tertinggi di USD 117.700, aset kripto andalan ini kembali terkoreksi hingga USD 111.500 pada hari Kamis (25/9). Fluktuasi harga ini memicu pertanyaan besar di benak para investor. Mengapa demikian? Bukankah lazimnya, suku bunga rendah menjadi angin segar bagi aset berisiko seperti saham dan kripto? Mengapa kali ini situasinya justru berbalik arah?
Mengapa Bitcoin Justru Melemah?
Fahmi Almuttaqin, analis dari Reku, menjelaskan bahwa penurunan harga Bitcoin dan Ethereum lebih disebabkan oleh aksi pasar yang telah jauh-jauh hari mengantisipasi kebijakan The Fed. “Sebelum pengumuman resmi, likuiditas sempat membanjiri aset-aset *risk-on*. Begitu keputusan diumumkan, sebagian investor memilih untuk merealisasikan keuntungan,” jelas Fahmi dalam catatan analisnya.
Lebih lanjut, alasan di balik pemangkasan suku bunga itu sendiri turut memicu kecemasan di kalangan pelaku pasar. The Fed mengambil langkah ini karena melihat adanya indikasi pelemahan ekonomi AS, terutama di sektor tenaga kerja. Imbasnya, kekhawatiran terhadap inflasi pun ikut membayangi.
Menilik data neraca keuangan The Fed, terlihat bahwa likuiditas global belum sepenuhnya longgar. Per tanggal 17 September 2025, total aset The Fed tercatat sebesar USD 6,6 triliun. Angka ini masih jauh di bawah puncak masa pandemi yang sempat mendekati USD 9 triliun. Artinya, kebijakan *Quantitative Tightening* (QT) atau pengetatan moneter masih terus berjalan, meskipun dengan laju yang lebih lambat.
Namun demikian, Fahmi menilai bahwa kondisi pasar saat ini masih relatif netral. Indikator *on-chain* SOPR (Spent Output Profit Ratio) menunjukkan bahwa aksi ambil untung telah mereda dan kembali ke level normal. “Tekanan jual dalam jangka pendek kemungkinan akan minim,” ungkapnya.
Prospek Bitcoin ke Depan
Outlook ke depan justru membuka peluang yang cukup menjanjikan. Sesuai dengan hasil jajak pendapat *dot plot*, The Fed diperkirakan masih berpotensi memangkas suku bunga hingga dua kali lagi pada akhir tahun ini. Jika inflasi dapat terkendali dengan baik, sentimen ini berpotensi kuat mendorong harga Bitcoin untuk kembali naik.
“Apalagi, tren akumulasi dari pihak institusi masih terlihat solid. Ditambah lagi, potensi lahirnya ETF altcoin semakin membuka lebar peluang bagi Bitcoin dan Ethereum untuk mencetak rekor harga tertinggi baru,” imbuh Fahmi.
Namun, perlu diingat bahwa jalan menuju level tertinggi tidak akan selalu mulus. Berbagai risiko, seperti kemungkinan *shutdown* pemerintahan AS, pelemahan di sektor lapangan kerja, atau penguatan nilai dolar, dapat memicu koreksi harga yang signifikan. “Dalam skenario terburuk, Bitcoin bahkan bisa kembali turun hingga di bawah level USD 100.000,” tambahnya.
Strategi Investasi Kripto di Tengah Ketidakpastian
Bagi investor di Indonesia, tren penurunan suku bunga The Fed membuka peluang untuk melakukan diversifikasi ke aset kripto. Akan tetapi, volatilitas tinggi tetap menjadi faktor yang harus diwaspadai. Fahmi menyarankan untuk menerapkan strategi *Dollar Cost Averaging* (DCA), yaitu membeli kripto secara bertahap dalam jumlah kecil secara rutin, daripada langsung berinvestasi dalam jumlah besar sekaligus.
“Pasar kripto saat ini tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika global. Oleh karena itu, investor perlu memantau tidak hanya harga Bitcoin, tetapi juga likuiditas dolar dan arus dana dari institusi,” tegasnya. Dengan pemahaman yang baik dan strategi yang tepat, investor dapat memanfaatkan peluang yang ada di pasar kripto dengan lebih bijak.