Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai yang lebih adil bagi semua produk rokok. Sorotan ini muncul berdasarkan riset terbaru CISDI yang mengungkap adanya keistimewaan tarif cukai yang menguntungkan sigaret kretek tangan (SKT). Kebijakan ini dinilai tidak setara dengan perlakuan terhadap dua jenis sigaret lainnya, memicu pertanyaan tentang keadilan dalam industri rokok.
CISDI mengidentifikasi tiga jenis sigaret utama yang diproduksi di Indonesia: sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek mesin (SKM). Perbedaan mendasar terletak pada proses produksinya. Sigaret mesin mengandalkan teknologi modern, sementara SKT mempertahankan cara tradisional dengan menggunakan tenaga manusia untuk melinting tembakau.
Gea Melinda, Research Associate CISDI, berpendapat bahwa tarif cukai rendah untuk SKT tidak memberikan dampak positif bagi industri rokok maupun kesehatan masyarakat Indonesia. Menurutnya, SKT justru lebih berbahaya karena sensasi kasar asap rokoknya disamarkan oleh eugenol dan perisa tambahan dalam komposisinya.
Gea menjelaskan bahwa kadar nikotin dan tar pada SKT cenderung lebih tinggi dibandingkan SPM dan SKM. Ironisnya, bahaya ini seringkali tidak disadari karena campuran bahan pada SKT membuat asapnya lebih mudah diterima oleh saluran pernafasan perokok pemula. “Hal ini membuat rokok kretek lebih mudah diterima, padahal dampak dan risikonya semakin besar,” tegas Gea dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 19 September 2025.
Gea menyoroti bahwa banyak negara di pasar global telah melarang penjualan SKT demi melindungi kesehatan publik. Kontras dengan tren ini, Indonesia justru memberikan “karpet merah” bagi SKT melalui keringanan tarif pajak berupa cukai murah. “Membiarkan SKT tetap murah sama dengan membiarkan masyarakat, terutama kelompok miskin dan anak muda, terjerat adiksi rokok dan terpapar risiko kesehatan yang tinggi,” imbuhnya.
Gea juga mengungkapkan bahwa sejumlah riset membuktikan harga produk tembakau yang terjangkau dapat memicu downtrading, yaitu peralihan konsumsi ke rokok yang lebih murah. Fenomena downtrading ini, menurutnya, melemahkan efektivitas kebijakan cukai sebagai alat untuk mengendalikan konsumsi tembakau.
Sementara itu, Chief Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda, mempertanyakan alasan pemerintah memberikan tarif khusus pada SKT dengan dalih melindungi pekerja. “Perlakuan istimewa terhadap SKT untuk melindungi pekerja hanyalah ilusi. Data kami menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga pekerja SKT dan petani cengkeh hidup di bawah garis kemiskinan, dengan risiko kesehatan dan risiko kerja yang sangat tinggi,” ungkapnya.
Laporan Bank Dunia pada tahun 2017 memperkuat pernyataan tersebut, menunjukkan kondisi kerja buruh linting SKT yang sangat rentan. Hanya sebagian kecil yang berstatus pekerja penuh waktu dengan jaminan yang memadai. Laporan itu juga mencatat bahwa rumah tangga yang sepenuhnya bergantung pada pekerjaan terkait SKT justru memiliki pendapatan lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki sumber penghasilan lain.
“Jika pemerintah terus mempertahankan rokok golongan SKT tetap murah, artinya negara memilih untuk melanggengkan adiksi produk berbahaya dan memperdalam kemiskinan. Reformasi cukai rokok 2026 perlu menjadi momentum penting untuk menyehatkan bangsa sekaligus memperkuat ekonomi yang berkeadilan,” pungkas Olivia.
Pilihan Editor: Rokok Ilegal Makin Laris. Bagaimana Menanganinya?