Sibisnis LONDON/SYDNEY. Libur perdagangan di Wall Street pada hari Senin (1/9) memberikan keleluasaan bagi bursa global untuk bergerak sesuai dengan dinamikanya masing-masing.
Saham-saham teknologi China menunjukkan performa yang impresif dengan lonjakan yang signifikan, sementara indeks saham Eropa cenderung stabil. Namun, obligasi Eropa dengan tenor panjang masih menghadapi tekanan yang cukup besar.
Indeks acuan STOXX 600 hanya mengalami kenaikan tipis sebesar 0,1%. Sempat ada dorongan positif dari data manufaktur yang membaik, namun momentum tersebut tampaknya tidak bertahan lama. Di sisi lain, pasar Asia justru mencatatkan pergerakan yang lebih dinamis.
Saham Alibaba yang terdaftar di Hong Kong melesat hingga 18,5% setelah perusahaan raksasa e-commerce ini melaporkan peningkatan pendapatan yang signifikan dari bisnis cloud mereka. Pendorong utama pertumbuhan ini adalah adopsi kecerdasan buatan (AI) yang semakin luas.
HSBC Menurunkan Peringkat Saham AS, Beralih Optimis ke Saham Eropa
Fokus utama para investor pada pekan ini tertuju pada perkembangan ekonomi di Amerika Serikat. Sejumlah data penting akan dirilis, termasuk survei manufaktur dan jasa, serta laporan ketenagakerjaan. Puncak dari rangkaian data ini adalah rilis data non-farm payrolls untuk bulan Agustus pada hari Jumat.
Konsensus pasar memperkirakan adanya penambahan sebanyak 75.000 lapangan kerja baru. Meskipun demikian, proyeksi dari berbagai analis bervariasi, mulai dari tidak ada penambahan hingga penambahan sebanyak 110.000 lapangan kerja. Tingkat pengangguran diperkirakan akan mengalami sedikit kenaikan menjadi 4,3%.
“Pasar tenaga kerja akan menjadi penentu utama arah kebijakan The Fed. Banyak yang memperkirakan bahwa pasar kerja mulai mengalami pendinginan, sehingga membuka peluang bagi pemangkasan suku bunga pada bulan September. Namun, situasinya masih belum sepenuhnya jelas dan memerlukan pengamatan lebih lanjut,” ungkap Samy Chaar, Kepala Ekonom Lombard Odier.
Ekspektasi suku bunga yang lebih rendah terus menopang Wall Street, yang saat ini berada di dekat rekor tertinggi. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa September secara historis dikenal sebagai bulan terlemah bagi indeks S&P 500 dalam 35 tahun terakhir.
Imbal Hasil Obligasi AS 10 Tahun Stabil di 4,17% Jelang Pengumuman Data Penting
Selain data ekonomi, kekhawatiran juga muncul terkait kebijakan tarif AS. Pengadilan banding menyatakan bahwa sebagian besar tarif impor yang diberlakukan di era Donald Trump adalah ilegal. Meskipun demikian, tarif tersebut akan tetap berlaku hingga pertengahan Oktober sambil menunggu proses lebih lanjut di Mahkamah Agung.
Situasi ini menciptakan ketidakpastian, terutama terkait kesepakatan dagang yang telah terjalin dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.
Lebih lanjut, para investor juga menyoroti ketegangan politik terkait upaya mantan Presiden Trump untuk menggugat independensi The Fed. Gubernur The Fed, Lisa Cook, dijadwalkan untuk menyampaikan argumen baru pada hari Selasa terkait upaya pemecatannya.
Tekanan Obligasi Eropa
Di benua Eropa, perhatian utama tertuju pada situasi politik di Prancis. Perdana Menteri Francois Bayrou memulai serangkaian perundingan dengan berbagai partai politik dengan tujuan mencegah runtuhnya pemerintahan dalam pemungutan suara kepercayaan yang akan diadakan pada pekan depan.
Pasar sempat bereaksi negatif terhadap pengumuman tersebut, meskipun kemudian mulai stabil. Namun, jika pemerintah gagal melewati voting, hal ini dapat memicu ketidakpastian politik yang signifikan dan berpotensi mengarah pada pemilihan umum dini.
“Peluang pemerintah gagal dalam voting sangat besar. Kami tetap pesimis terhadap prospek Prancis dan memperkirakan selisih imbal hasil obligasi Prancis-Jerman akan melebar menuju 90 basis poin,” kata Mohit Kumar, Kepala Ekonom Eropa di Jefferies.
Cermati Saham-Saham yang Banyak Diborong Asing Jelang Libur Panjang Lebaran 2025
Kekhawatiran terkait kondisi fiskal global juga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang. Imbal hasil obligasi Jerman dengan tenor 30 tahun mencapai level tertinggi dalam 14 tahun terakhir di 3,38%, sementara tenor 10 tahun naik 3 basis poin menjadi 2,76%.
Kenaikan imbal hasil di Eropa memberikan dorongan bagi nilai tukar euro. Mata uang tunggal ini terakhir tercatat menguat 0,25% menjadi US$1,1711.
Di pasar komoditas, harga emas mengalami kenaikan seiring dengan melemahnya dolar AS dan prospek suku bunga yang lebih rendah. Logam mulia ini naik hingga 1,1% ke level tertinggi dalam empat bulan terakhir di US$3.489,5 per ons.
Harga minyak juga bergerak naik. Brent ditutup menguat 1% menjadi US$68,2 per barel, didorong oleh pelemahan dolar dan gangguan pasokan akibat intensifikasi serangan udara Rusia-Ukraina. Meskipun demikian, harga minyak juga tertekan oleh kekhawatiran lonjakan produksi dan potensi dampak tarif AS terhadap permintaan.