Sibisnis JAKARTA. Kinerja emiten perkebunan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) diproyeksikan akan terus menunjukkan tren positif hingga akhir tahun. Sentimen ini didorong oleh harga CPO yang diperkirakan masih akan kuat.
Analis Indo Premier Sekuritas, Halima Yefany & Aurelia Barus, dalam risetnya tanggal 6 Oktober 2025, memprediksi harga CPO akan tetap berada di level tinggi hingga tahun fiskal 2027.
“Kenaikan harga CPO ini didukung oleh dinamika penawaran dan permintaan yang lebih menguntungkan ke depannya,” jelas Halima.
Kinerja Emiten CPO Haji Isam Moncer per Kuartal III 2025, Begini Prospeknya
Lebih lanjut, Halima memperkirakan adanya potensi rebound harga CPO pada kuartal IV-2025. Rata-rata harga CPO hingga akhir tahun diproyeksikan naik 2% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi MYR 4.300 per ton.
Potensi kenaikan ini, menurutnya, didukung oleh implementasi program B40 (bauran solar dengan 40% bahan bakar nabati berbasis CPO) sepanjang tahun. Selain itu, substitusi kedelai yang berkelanjutan dan tingginya permintaan dari India juga akan menjadi faktor pendukung.
“Sementara itu, pasokan CPO masih menghadapi kendala akibat keterbatasan lahan dan tenaga kerja, meskipun potensi peningkatan dampak La Niña perlu diwaspadai,” tambahnya.
Dalam jangka panjang, Halima memprediksi harga CPO akan stabil di kisaran MYR 4 ribu per ton, dengan pertumbuhan permintaan struktural yang mampu mengimbangi keterbatasan pasokan.
Halima juga memproyeksikan net profit (NP) inti emiten sektor CPO akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (Compounded Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 15% pada tahun fiskal 2025-2027. Kinerja ini menunjukkan potensi investasi yang menarik di sektor CPO.
“PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) diperkirakan akan menjadi pemimpin sektor dengan CAGR 36%, didorong oleh deleveraging dan perbaikan operasional,” jelasnya. Hal ini menjadikan DSNG sebagai salah satu pilihan utama di sektor ini.
Harga CPO Tertekan Permintaan yang Melandai
Selain itu, neraca sektor CPO juga diproyeksikan akan pulih, dengan kas bersih membaik menjadi 0,1x–0,2x pada tahun 2027, menunjukkan fundamental perusahaan yang semakin kuat.
Ke depan, Halima melihat potensi kenaikan harga CPO yang didukung oleh dinamika penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, masalah Hak Guna Usaha (HGU) di Indonesia berpotensi mengakibatkan penurunan output.
Sementara dari sisi permintaan, implementasi mandat B50 pada tahun 2026 diperkirakan dapat menyerap 3-4 juta kiloliter per tahun, sehingga memperketat neraca supply-demand dan berpotensi mendorong harga CPO lebih tinggi.
“Jika terealisasi, hal ini dapat meningkatkan harga CPO sebesar 8%-12% pada tahun fiskal 2026-2027, yang pada akhirnya akan meningkatkan laba sebesar 10%-48%,” imbuhnya, memberikan gambaran potensi keuntungan yang signifikan.
IHSG Rebound, Sektor CPO dan Konsumer Jadi Penopang — Simak Proyeksi Jumat (17/10)
Meskipun demikian, risiko penurunan juga perlu diperhatikan. Ekspansi lahan di Brasil dan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) berpotensi menekan permintaan CPO. Walaupun begitu, Halima menilai dampaknya mungkin terbatas karena India dan Indonesia diperkirakan mampu menyerap volume tambahan tersebut.
Di sisi lain, jika kedua negara tersebut gagal menyerap tambahan pasokan, Halima memperkirakan harga CPO dapat turun sebesar 3%-13% pada tahun fiskal 2026-2027, dengan potensi penurunan pendapatan sebesar 3%-35%.
Secara keseluruhan, Halima memberikan peringkat Overweight untuk sektor CPO dan merekomendasikan DSNG sebagai top pick dengan target harga Rp 2.400 per saham. Rekomendasi ini didasarkan pada potensi pertumbuhan dan fundamental perusahaan yang kuat.
Selain DSNG, Halima juga menyarankan untuk membeli PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (LSIP) dengan target harga masing-masing Rp 2.100 dan Rp 1.500 per saham. Rekomendasi ini memberikan investor beberapa opsi menarik di sektor perkebunan kelapa sawit.





