Jakarta, IDN Times – Ekonomi Amerika Serikat (AS) menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan. Pasar tenaga kerja, yang selama ini menjadi mesin penggerak pertumbuhan, kini mulai kehilangan tenaga. Data terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) mengungkap fakta yang mengejutkan: hanya 22 ribu pekerjaan baru tercipta di bulan Agustus 2025. Angka ini jauh di bawah ekspektasi para analis yang memperkirakan penambahan 75 ribu pekerjaan.
Ironisnya, ini adalah laporan negatif keempat secara berturut-turut. Data bulan Juni bahkan direvisi menjadi minus 13 ribu, menandai penurunan pertama sejak Desember 2020. Kondisi ini semakin diperburuk dengan naiknya tingkat pengangguran menjadi 4,3 persen, level tertinggi dalam empat tahun terakhir, di luar periode pandemi Covid-19 yang penuh gejolak.
Sarah House, ekonom senior dari Wells Fargo, dengan tajam menyoroti perubahan dramatis yang terjadi di pasar tenaga kerja AS. “Mesin pekerjaan yang selama ini menjadi bagian integral dari pertumbuhan ekonomi AS yang melampaui ekspektasi selama empat tahun terakhir, kini sedang terhenti,” ujarnya dalam sebuah catatan yang dikutip NBC News. Pernyataan ini menjadi alarm bagi para pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan.
Kelemahan pasar tenaga kerja ini, sayangnya, tidak hanya terbatas pada satu sektor saja. Kondisi yang meluas ini semakin mempersulit upaya pemulihan cepat. Investor dan pelaku usaha pun kini semakin berhati-hati dalam memandang prospek ekonomi AS ke depan. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi?
1. Tarif Impor dan Pemangkasan Belanja Pemerintah Menekan Perekonomian
Menurut laporan Politico, kombinasi suku bunga tinggi dan kebijakan tarif impor yang agresif dari Presiden Donald Trump menjadi beban berat bagi ekonomi AS yang sangat bergantung pada konsumsi. Kebijakan Trump yang memberlakukan tarif tinggi pada barang impor, ditambah pemangkasan belanja federal yang kini digugat secara hukum, menciptakan ketidakpastian yang tinggi. Akibatnya, pelaku usaha menjadi ragu untuk melakukan ekspansi dan membuka lapangan kerja baru.
Tarif impor juga memicu kekhawatiran akan kenaikan harga, meskipun inflasi telah menunjukkan penurunan dari puncaknya di tahun 2022. Tingkat inflasi saat ini masih berada di atas target 2 persen yang ditetapkan oleh Federal Reserve (The Fed). Dampak langsung dari kebijakan ini sangat terasa di sektor manufaktur, yang telah kehilangan 78 ribu pekerjaan sepanjang tahun ini.
Sektor-sektor yang sensitif terhadap perdagangan internasional juga ikut merasakan dampaknya. Sektor pertambangan dan perdagangan grosir mengalami penurunan yang signifikan. Data menunjukkan bahwa sektor minyak dan gas kehilangan 6 ribu pekerjaan, sementara sektor manufaktur kehilangan 12 ribu pekerjaan hanya dalam bulan Agustus. Di sisi lain, sektor kesehatan justru tumbuh dengan penambahan 31 ribu pekerjaan, diikuti oleh bantuan sosial yang menambah 16 ribu pekerjaan. Sektor konstruksi, ritel, jasa profesional, dan perhotelan juga mengalami kenaikan, namun tidak signifikan.
2. Indikator Lain Menunjukkan Pasar Kerja Semakin Lesu
Sebenarnya, sinyal pelemahan pasar kerja sudah terlihat jauh sebelum laporan resmi dari BLS dirilis. Pada hari Selasa (2/9), BLS melaporkan bahwa tingkat perekrutan dan pemutusan hubungan kerja relatif stagnan di bulan Agustus dibandingkan dengan bulan Juli. Sementara itu, jumlah lowongan pekerjaan turun ke titik terendah dalam 10 bulan terakhir. Meskipun demikian, situs pencari kerja Indeed mencatat adanya peningkatan bertahap dalam iklan lowongan pekerjaan sejak pertengahan Juli.
Data dari ADP (Automatic Data Processing), sebuah perusahaan penyedia layanan penggajian swasta, pada hari Kamis (4/9) semakin menguatkan indikasi perlambatan. ADP mencatat hanya ada 54 ribu pekerjaan baru yang tercipta di bulan Agustus, turun dari 106 ribu di bulan sebelumnya dan di bawah ekspektasi pasar. Selain itu, lebih dari seperempat pengangguran saat ini telah menganggur selama lebih dari enam bulan, proporsi tertinggi sejak Juni 2016. Fakta ini menunjukkan bahwa para pencari kerja semakin kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Laporan dari Challenger, Gray & Christmas juga menunjukkan peningkatan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jumlah PHK melonjak 39 persen pada bulan Agustus dibandingkan dengan bulan Juli, dengan total lebih dari 85 ribu posisi hilang. Sepanjang tahun ini, sudah ada 892 ribu pekerjaan yang dihapus, angka tertinggi sejak tahun 2020. Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi para pekerja dan keluarga mereka.
Challenger menyoroti tren yang mengkhawatirkan bagi para peritel. “September biasanya adalah saat kita mulai melihat pengumuman perekrutan musiman yang besar, yang menunjukkan bagaimana ekspektasi peritel untuk musim libur. Setelah Agustus dengan rencana perekrutan terendah yang pernah tercatat, ini mungkin menjadi tanda yang mengkhawatirkan,” ujarnya, seperti yang dikutip NBC News. Apakah ini pertanda bahwa daya beli masyarakat akan menurun di musim liburan mendatang?
3. Pemecatan Bos BLS dan Tekanan Politik ke The Fed
Laporan pekerjaan yang mengecewakan ini muncul tak lama setelah Presiden Trump memecat Komisaris BLS, Erika McEntarfer. Keputusan kontroversial ini diambil setelah adanya revisi besar pada data bulan Mei dan Juni yang menunjukkan pelemahan yang lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya. Angela Hanks dari The Century Foundation menilai langkah tersebut sebagai tindakan yang tidak tepat dan berpotensi merusak independensi lembaga statistik.
“Laporan pekerjaan ini juga menegaskan apa yang sudah kita ketahui — bahwa pemecatan Komisaris BLS Erika McEntarfer oleh Presiden Trump sama sekali tidak beralasan dan secara definisi adalah kasus menembak pembawa pesan,” katanya, seperti yang dikutip dari Al Jazeera. Apakah pemecatan ini merupakan upaya untuk memanipulasi data ekonomi demi kepentingan politik?
Trump menunjuk E.J. Antoni dari Heritage Foundation sebagai pengganti McEntarfer, meskipun pencalonannya masih menunggu konfirmasi dari Senat. Antoni menuai kritik karena pernah mengusulkan penundaan publikasi laporan bulanan, yang dikhawatirkan dapat mengacaukan pasar global. Situasi di bulan Agustus ini juga semakin menekan Federal Reserve (The Fed), yang harus menyeimbangkan antara pengendalian inflasi dan mengatasi pelemahan pasar tenaga kerja.
Gedung Putih berulang kali meminta Ketua The Fed, Jerome Powell, untuk segera menurunkan suku bunga. “Jerome ‘Terlambat’ Powell seharusnya sudah menurunkan suku bunga sejak lama. Seperti biasa, dia ‘Terlambat!'” tulis Trump di media sosial pada hari Jumat (5/9). Tekanan politik ini tentu menambah rumit situasi yang dihadapi The Fed.
Investor kini memperkirakan bahwa pemangkasan suku bunga akan terjadi pada pertemuan tanggal 16–17 September, yang berpotensi menjadi pemotongan pertama sejak Desember lalu. Langkah ini diharapkan dapat memberikan stimulus bagi perekonomian AS.
Scott Paul dari Alliance for American Manufacturing berpendapat bahwa laporan pekerjaan bulan Agustus ini seharusnya mendorong dua langkah penting. Pertama, Federal Reserve perlu segera memangkas suku bunga. Kedua, pemerintah perlu menyelesaikan masalah tarif dan perjanjian dagang agar bisnis mendapatkan kepastian untuk merekrut, berinvestasi dalam peralatan modal, dan menata ulang rantai pasok. Hanya dengan langkah-langkah komprehensif, pasar tenaga kerja AS dapat kembali pulih dan menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi.