Jakarta – Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda baru-baru ini menyampaikan pernyataan keras mengenai praktik pelesiran pejabat publik Indonesia ke luar negeri. Mereka menyoroti adanya dugaan keterlibatan pejabat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memanfaatkan fasilitas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan bantuan mahasiswa Indonesia di luar negeri. PPI Belanda mendesak seluruh KBRI untuk menghentikan praktik melibatkan mahasiswa dalam memfasilitasi kegiatan pejabat publik di negara lain.
Yosafat Beltsazar, Ketua PPI Groningen, mengungkapkan bahwa pelibatan mahasiswa oleh KBRI dalam memfasilitasi pejabat publik di luar negeri telah memakan korban jiwa. Ia merujuk pada kasus Muhammad Athaya Helmi Nasution, seorang mahasiswa yang meninggal dunia di Wina, Austria.
Menurut Yosafat, almarhum Muhammad Athaya meninggal dunia setelah mendampingi kunjungan tertutup yang melibatkan anggota DPR, OJK, dan Bank Indonesia pada tanggal 25—27 Agustus 2025. Kunjungan ini terjadi di tengah situasi demonstrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.
“Berdasarkan hasil otopsi forensik, almarhum diduga mengalami *seizure* yang kemungkinan besar dipicu oleh *heatstroke* [sengatan panas] akibat kurangnya cairan dan asupan nutrisi, serta kelelahan. Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit (*electrolyte imbalances*) dan penurunan kadar gula darah di bawah normal (hipoglikemia), yang berujung pada *stroke*. Hal ini terjadi setelah almarhum beraktivitas dari pagi hingga malam sebagai pemandu,” jelas Yosafat dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Yosafat juga mengecam keras pihak *event organizer* (EO) maupun koordinator *Liaison Officer* (LO) yang dinilai tidak bertanggung jawab dan tidak menunjukkan empati kepada keluarga almarhum yang datang ke Wina untuk mengurus jenazah. Lebih lanjut, keluarga almarhum mengindikasikan adanya upaya penutupan informasi mengenai detail kegiatan dan identitas pihak yang didampingi oleh almarhum di Wina dari pihak EO.
“Alih-alih mengunjungi tempat penginapan almarhum saat menghembuskan nafas terakhir, acara kunjungan kerja tetap berlanjut. Pihak EO justru sibuk mengurus persiapan acara makan-makan bersama pejabat publik di restoran,” imbuhnya.
Menyikapi kejadian ini, Yosafat mengimbau seluruh pelajar Indonesia di luar negeri untuk menolak dengan tegas permintaan pendampingan dari pejabat publik Indonesia yang melakukan kunjungan tertutup atau bersifat pribadi.
“Kami mengimbau mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di Belanda agar tidak menerima tawaran untuk memfasilitasi perjalanan pejabat publik, terutama yang datang melalui jalur pribadi atau jaringan pertemanan,” tegasnya. Kasus ini menjadi sorotan dan memicu diskusi mengenai etika dan tanggung jawab dalam pelibatan mahasiswa Indonesia di luar negeri dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan pejabat publik.