PMI Manufaktur Indonesia Kontraksi Lagi: Apa Penyebab dan Dampaknya?

Admin

No comments

Sibisnis – Jakarta – Sektor manufaktur Indonesia masih bergulat dengan kontraksi. Laporan terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di angka 49,2 pada Juli 2025. Angka ini menandai bulan ketiga berturut-turut sektor ini mengalami perlambatan. Meski sedikit membaik dibandingkan Juni 2025 yang mencatatkan angka 46,9, namun perolehan ini belum cukup untuk mengangkat PMI ke zona ekspansi. Perlu diketahui, angka PMI di bawah 50 mengindikasikan adanya kontraksi di sektor manufaktur.

Lantas, apa yang menyebabkan kondisi ini? S&P Global menyoroti penurunan produksi sebagai faktor utama yang membebani PMI manufaktur Indonesia. “Data survei bulan Juli kembali mengindikasikan tantangan bagi kesehatan sektor manufaktur Indonesia. Penurunan output dan permintaan baru terus berlanjut memasuki triwulan ketiga, meskipun lajunya melambat dibandingkan bulan Juni,” ungkap Usamah Bhatti, ekonom S&P Global, dalam laporan resminya.

Selain penurunan produksi, permintaan ekspor baru juga mengalami penurunan. Permintaan dari luar negeri terhadap produk manufaktur Indonesia kembali terkontraksi, terjadi tiga kali dalam empat bulan terakhir, setelah sempat menunjukkan stabilitas pada bulan Juni. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar global masih belum sepenuhnya pulih dan mempengaruhi kinerja ekspor manufaktur Indonesia.

Lebih lanjut, perusahaan-perusahaan manufaktur juga mengambil langkah-langkah pengetatan, yang tercermin dari pengurangan jumlah karyawan dan pembelian. Kondisi ini mengindikasikan kehati-hatian pelaku industri dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. “Produsen juga mencatat peningkatan tekanan harga sejak awal semester kedua tahun 2025,” imbuh Usamah.

Inflasi biaya produksi menjadi perhatian serius. Usamah menjelaskan bahwa inflasi biaya saat ini merupakan yang tertinggi dalam empat bulan terakhir, dipicu oleh kenaikan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kenaikan biaya ini sebagian dibebankan kepada konsumen, meskipun inflasi biaya secara umum masih terkendali.

Kondisi ini berdampak pada tingkat kepercayaan pelaku usaha manufaktur. Optimisme mereka terhadap prospek bisnis di tahun mendatang mengalami penurunan tajam pada bulan Juli. “Tingkat kepercayaan diri menurun drastis dibandingkan bulan Juni dan menjadi yang terlemah sejak survei dimulai pada April 2012. Optimisme didorong oleh harapan perbaikan ekonomi dan penurunan harga bahan baku,” jelas Usamah.

Beberapa faktor yang memicu kekhawatiran ini adalah potensi penerapan tarif balasan oleh Amerika Serikat (AS) dan penurunan daya beli masyarakat. “Perusahaan menyampaikan kekhawatiran mengenai tarif AS dan potensi penurunan daya beli yang dapat membatasi volume produksi di tahun mendatang,” pungkasnya.

Pilihan Editor: Dampak Kesepakatan Dagang Prabowo-Trump bagi Industri Manufaktur

Tags:

Share:

Related Post