Prabowo Klaim Pengangguran Turun Meski PHK Marak: Kok Bisa?

Admin

No comments

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan kabar baik mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD, ia menyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia telah mencapai titik terendah sejak krisis moneter tahun 1998. Klaim ini tentu menjadi sorotan, mengingat isu pengangguran selalu menjadi perhatian utama.

Pernyataan Prabowo didasarkan pada data Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di angka 4,76 persen. Angka ini mengalami penurunan tipis sebesar 0,06 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2024. Sebagai perbandingan, TPT pada tahun 1998 mencapai 5,46 persen. “Alhamdulillah, hari ini tingkat pengangguran nasional berhasil turun ke level terendah sejak krisis 1998,” ujar Prabowo dengan optimis di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025.

Namun, di balik kabar baik ini, terselip realita yang pahit. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat bahwa praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) masih marak terjadi sejak awal tahun 2025. Data dari situs resmi Kemnaker menunjukkan bahwa pada Januari 2025, terdapat 9.497 tenaga kerja yang terkena PHK. Banten menjadi wilayah dengan kontribusi terbesar, menyumbang 26,79 persen dari total tenaga kerja yang di-PHK.

Tren PHK ini terus berlanjut. Pada Februari 2025, jumlah korban PHK mencapai 17.796 orang, didominasi oleh perusahaan di Jawa Tengah dengan kontribusi sekitar 45,86 persen dari total kasus. Kemudian, pada bulan Maret, terjadi lagi PHK terhadap 4.987 tenaga kerja, dengan Jawa Barat sebagai penyumbang terbesar, yaitu sekitar 25,83 persen dari total tenaga kerja terdampak.

Memasuki April 2025, tercatat 3.794 orang terkena PHK, dan lagi-lagi Jawa Barat mendominasi dengan sekitar 33,18 persen dari total pekerja yang terdampak. Tren serupa berlanjut hingga Mei 2025 dengan jumlah PHK mencapai 4.702 orang, sebelum akhirnya sedikit berkurang menjadi 1.609 tenaga kerja pada Juni 2025.

Secara keseluruhan, Kemnaker mencatat total 42.385 tenaga kerja yang terkena PHK sepanjang tahun 2025. Data ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin tingkat pengangguran diklaim menurun, sementara puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan? Kontradiksi ini tentu menjadi perhatian serius.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai bahwa klaim Prabowo tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil dunia pekerjaan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa jumlah angkatan kerja pada tahun 2025 terbilang besar, mencapai 153,05 juta orang, atau naik 0,62 persen dibandingkan Agustus 2024. “Secara absolut tidak sebanding,” tegasnya saat dihubungi pada Sabtu, 16 Agustus 2025.

Menurut Tadjudin, fokus utama permasalahan ketenagakerjaan saat ini bukanlah sekadar pada tinggi atau rendahnya angka pengangguran terbuka. Ia menekankan bahwa penyumbang terbesar pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang baru menyelesaikan pendidikan.

Lebih lanjut, Tadjudin meminta pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada dominasi pekerja informal di Indonesia. Ia menilai bahwa pekerja informal sangat rentan terhadap kemiskinan karena kurangnya perlindungan. “Rentan terhadap perubahan, rentan karena mereka tidak dilindungi sama sekali. Itu yang berbahaya malah,” pungkas Tadjudin. Dengan demikian, tantangan ketenagakerjaan Indonesia tidak hanya soal menurunkan angka pengangguran, tetapi juga meningkatkan kualitas dan perlindungan bagi seluruh pekerja, terutama mereka yang berada di sektor informal.

Pilihan Editor: Apa Isi Buku Putih AI yang Dibuat Pemerintah

Tags:

Share:

Related Post