Rojali & Rohana: Mengguncang Ekonomi Mal? Strategi Retail Berubah!

Admin

No comments

FENOMENA menurunnya daya beli masyarakat Indonesia, khususnya yang terlihat di mal, telah melahirkan istilah-istilah baru yang jenaka seperti Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya). Meskipun terdengar lucu, istilah-istilah ini secara mendalam merefleksikan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi tantangan. Lantas, apa implikasi dari fenomena ini terhadap sektor ritel dan ekonomi secara keseluruhan?

Menurut Listya Endang Artiani, Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), di balik kelucuan istilah Rojali dan Rohana, keduanya berfungsi sebagai “teks sosial” yang mencerminkan transformasi gaya hidup kelas menengah kota. Fenomena ini juga menandai pergeseran fungsi mal dari sekadar ruang konsumsi rasional menjadi ruang yang kaya akan dimensi emosional, simbolik, bahkan politis.

Listya menjelaskan, “Mal saat ini telah melampaui perannya sebagai pusat perdagangan. Ia telah menjelma menjadi ruang sosial-ekonomi multifungsi, tempat di mana orang tidak hanya membeli barang, tetapi juga membeli suasana, membangun citra diri, bahkan membeli rasa berada di tengah modernitas.” Pernyataan ini disampaikan Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 04 Agustus 2025.

Dampak Fenomena Rojali dan Rohana terhadap Ekonomi Mal dan Strategi Retail

Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta, ini melanjutkan, fenomena Rojali dan Rohana, yakni konsumen yang datang ke mal tanpa niat belanja, seringkali dianggap sebagai beban ekonomi bagi pelaku bisnis ritel. Mereka tidak berkontribusi pada transaksi langsung, tidak meningkatkan omset, bahkan terkadang hanya dipersepsikan sebagai “pengisi bangku kosong dan pendingin ruangan.”

Namun, Listya berpendapat bahwa pandangan tersebut terlalu simplistik dan gagal memahami dinamika ekonomi kontemporer, terutama dalam era yang didominasi oleh experience economy (ekonomi pengalaman) dan ekonomi atensi. Dalam lanskap konsumsi modern, kehadiran fisik dan keterlibatan sosial justru merupakan aset tak berwujud yang memiliki nilai ekonomis tersendiri bagi pusat perbelanjaan.

Meskipun Rojali dan Rohana tidak membayar dengan uang, Listya menekankan bahwa mereka “membayar” dengan waktu, perhatian, dan bahkan melalui user-generated content di media sosial. Keramaian mal, meskipun didominasi oleh mereka yang sekadar berjalan-jalan, menciptakan ilusi “kesuksesan sosial” yang pada gilirannya membangun ekspektasi positif bagi pengunjung baru. Hal ini selaras dengan prinsip network externalities dalam teori ekonomi digital, di mana nilai suatu layanan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah partisipan, meskipun tidak semua melakukan transaksi langsung. Efek ini juga erat kaitannya dengan prinsip bandwagon effect dalam behavioral economics, di mana keputusan individu sering dipengaruhi oleh ekspektasi dan perilaku kolektif.

Namun demikian, dari perspektif pelaku ritel, tantangan tetap nyata. Pengukuran kinerja toko ritel masih didominasi oleh metrik konvensional seperti conversion rate, average basket size, dan sales per square meter. Ketika jumlah pengunjung meningkat tetapi tingkat transaksi stagnan, muncul apa yang disebut sebagai retail paradox: keramaian tanpa profit. Kondisi ini menekan return on investment (ROI) bagi tenant, terutama mengingat tingginya biaya sewa dan operasional di pusat perbelanjaan modern. Untuk menyiasati hal ini, banyak pelaku ritel kini mengadopsi pendekatan retailtainment, yaitu gabungan antara ritel dan hiburan, guna menciptakan nilai tambah yang tidak semata-mata berorientasi pada transaksi, tetapi juga pada pengalaman dan emosi. Fenomena ini sangat selaras dengan argumen Joseph Pine dan James Gilmore (1998) dalam buku mereka, The Experience Economy, yang menyatakan bahwa lapisan tertinggi dari nilai ekonomi bukanlah produk atau jasa, melainkan pengalaman personal yang bermakna.

Lebih lanjut, implementasi konkret dari transformasi ini dapat dilihat dalam perubahan format toko. Toko buku kini menjelma menjadi ruang komunitas, gerai kopi menjadi galeri mikro, hingga toko fesyen yang menyisipkan ruang swafoto dan event pop-up. Beberapa pusat perbelanjaan bahkan mulai menambahkan elemen co-working space, taman kota, atau area bermain interaktif sebagai bentuk strategi place-making yang lebih partisipatif, memperkaya pengalaman pengunjung tanpa harus selalu berujung pada pembelian.

Namun, transformasi ini tidak lepas dari ironi. Di balik narasi inklusivitas dan pengalaman, tetap ada preferensi kuat terhadap konsumen yang benar-benar membeli atau disebut Robeli (rombongan benar-benar beli), yang datang dengan daya beli tinggi dan niat belanja jelas. Logika pasar masih mendorong seleksi berdasarkan kontribusi ekonomi langsung. Akibatnya, pelaku UMKM dan tenant lokal yang tidak mampu bersaing dalam model ekonomi berbasis volume dan margin tinggi berisiko terpinggirkan. Hal ini memperkuat ketimpangan struktural antara pelaku bisnis besar dan kecil di dalam satu ekosistem konsumsi yang tampak terbuka namun sesungguhnya hierarkis.

Oleh karena itu, Listya menegaskan pentingnya inovasi kebijakan dalam manajemen mal dan tata kelola ritel. Salah satu pendekatan yang relevan adalah penggunaan prinsip inclusive economy (ekonomi inklusif) yang menekankan distribusi nilai dan akses ekonomi yang lebih merata. Pengelola mal dapat merancang skema sewa berbasis performa sosial, memberikan insentif bagi tenant komunitas, atau mengalokasikan zona “non-komersial” yang memungkinkan interaksi warga tanpa tekanan konsumsi. Model seperti ini tidak hanya berkelanjutan secara sosial, tetapi juga memperluas makna dari value proposition mal sebagai institusi urban yang adaptif dan relevan di tengah krisis ekonomi maupun perubahan budaya belanja.

Sebagai penutup, Listya menyimpulkan bahwa kehadiran Rojali dan Rohana adalah cermin yang memaksa industri ritel untuk merenung dan bertanya: untuk siapa ruang-ruang konsumsi ini diciptakan, dan nilai apa yang sebetulnya sedang dijual? Pertanyaan ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga etis, dan jawabannya akan menentukan arah masa depan ritel serta ruang publik kita.

Pilihan Editor: Dosen UII Soroti Makna Sosial Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli

Tags:

Share:

Related Post