Saham Nikel Tertekan Harga Komoditas? Ini Rekomendasi Analis!

Admin

No comments

Sibisnis JAKARTA. Industri nikel Indonesia tengah menghadapi tantangan yang cukup signifikan. Harga komoditas nikel yang terus terkoreksi menjadi batu sandungan bagi kinerja emiten produsen nikel.

Menurut data Bloomberg per Kamis (20/11/2025), harga bijih nikel untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) memang menunjukkan sedikit penguatan, naik tipis 0,08% menjadi US$ 14.650 per ton. Namun, jika dilihat dalam sebulan terakhir, harga nikel telah merosot 3,71%. Bahkan, secara year-to-date, penurunan harga nikel mencapai 4,96%.

Kondisi ini turut berdampak pada harga saham sejumlah emiten nikel di Bursa Efek Indonesia. PT Vale Indonesia Tbk (INCO), misalnya, mengalami penurunan harga saham sebesar 10,77% ke level Rp 3.810 per saham hingga Kamis (20/11/2025). Senada dengan INCO, saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) juga tergerus 20,41% ke level Rp 975 per saham.

Emiten lain seperti PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) juga tak luput dari tekanan, dengan harga saham melemah 2,59% ke level Rp 565 per saham dalam sebulan terakhir. Kemudian, saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) terkoreksi 10,49% ke level Rp 725 per saham, dan saham PT PAM Mineral Tbk (NICL) turun tipis 0,47% ke level Rp 1.060 per saham.

Wall Street Ditutup Anjlok: Nvidia & Data Ketenagakerjaan AS Guncang Pasar Saham AS

Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menjelaskan bahwa koreksi harga nikel ini merupakan imbas dari kelebihan pasokan (oversupply) struktural di pasar global. Situasi ini dipicu oleh peningkatan produksi nikel kelas II, khususnya Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel dari Indonesia, yang kini menguasai lebih dari 60% total produksi dunia.

“Kelebihan pasokan ini semakin diperparah oleh permintaan global yang lesu, terutama dari industri baja tahan karat di China, yang pertumbuhannya tidak sejalan dengan laju produksi di Indonesia,” ungkap Abida pada Kamis (20/11/2025).

Kondisi ini menciptakan sentimen negatif yang mengancam kinerja emiten nikel, terutama bagi mereka yang masih berfokus pada produk tradisional seperti nikel matte atau feronikel. Tak hanya itu, koreksi harga nikel juga berpotensi menghambat ekspansi hilirisasi, terutama proyek smelter yang membutuhkan investasi besar.

Untuk tahun 2026, prospek kinerja emiten produsen nikel diperkirakan masih akan menantang, mengingat pasokan nikel global diprediksi tetap surplus sekitar 0,26 juta ton. Meskipun demikian, beberapa analis memperkirakan adanya normalisasi harga nikel pada sisa tahun 2025, seiring dengan pemulihan permintaan dari China.

“Namun, pemulihan harga yang signifikan diperkirakan akan terbatas selama surplus pasokan dari Indonesia terus mendominasi pasar global,” tambah Abida.

Di sisi lain, sentimen positif yang berpotensi mendongkrak kinerja emiten nikel adalah percepatan adopsi kendaraan listrik (EV) secara global. Pertumbuhan konsumsi baterai kendaraan listrik akan menjadi katalis jangka panjang yang kuat, meningkatkan permintaan nikel kelas I seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nikel sulfat, sekaligus menjamin pasar bagi produk hilirisasi Indonesia.

Simak Rekomendasi Teknikal Saham BKSL, TPIA, ADMR untuk Jumat (21/11/2025)

Secara umum, emiten nikel perlu memperkuat strategi efisiensi biaya operasional dan mempertahankan posisi sebagai produsen berbiaya rendah dengan menekan cash cost secara intensif. Selain itu, diversifikasi produk ke produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi juga menjadi kunci.

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menekankan bahwa nikel tetap memegang peranan penting sebagai salah satu mineral strategis yang banyak digunakan dalam industri kendaraan listrik dan baja tahan karat. Oleh karena itu, emiten produsen nikel memiliki prospek fundamental yang menjanjikan dalam jangka panjang.

Nafan berharap agar proyek hilirisasi emiten nikel tetap berjalan, terlepas dari fluktuasi harga komoditas di pasar global. Kemampuan emiten dalam menghasilkan produk bernilai tambah akan menjadi faktor penting dalam mencapai pertumbuhan kinerja jangka panjang.

“Ketika harga nikel mengalami pemulihan, emiten yang telah melakukan ekspansi bisnis ke hilirisasi akan mendapatkan keuntungan besar dari peningkatan average selling price (ASP),” ujar Nafan, Kamis (20/11/2025).

MBMA Chart by TradingView

Dari sekian banyak emiten produsen nikel, Nafan merekomendasikan akumulasi beli saham MBMA dengan target harga Rp 760 per saham.

Sementara itu, Abida merekomendasikan beli saham NCKL dengan target harga di kisaran Rp 1.300 per saham, mengingat kinerja labanya yang tetap tumbuh di tengah tantangan pasar, serta fokusnya pada produk intermediate baterai.

Selain itu, saham INCO juga direkomendasikan untuk dibeli dengan target harga Rp 4.700 per saham, mempertimbangkan peluang masuk pada valuasi yang lebih menarik dan potensi kenaikan harga saham yang signifikan seiring dengan kemajuan proyek smelter yang sedang berjalan.

Tags:

Share:

Related Post