Saham Semen 2024: Peluang di Balik Lesunya Permintaan, Pilih Mana?

Admin

No comments

Sibisnis JAKARTA. Industri semen di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Permintaan semen yang belum pulih secara signifikan menjadi penyebab utama tekanan yang dirasakan oleh para produsen semen. Akibatnya, kinerja keuangan sebagian besar emiten semen mengalami perlambatan.

Sebagai contoh, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 3,76% *year on year* (yoy) menjadi Rp 25,30 triliun pada kuartal III-2025. Lebih lanjut, laba bersih SMGR mengalami penurunan drastis, merosot hingga 84,04% yoy menjadi hanya Rp 114,83 miliar.

Senada dengan SMGR, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) juga mengalami penurunan pendapatan sebesar 3,07% yoy menjadi Rp 12,91 triliun. Meskipun demikian, INTP masih mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih yang tipis, yaitu sebesar 0,95% yoy menjadi Rp 1,06 triliun.

Grup Sampoerna Jual Seluruh Saham Sampoerna Agro (SGRO) ke Posco International

Kondisi serupa juga dialami oleh emiten lainnya, PT Cemindo Gemilang Tbk (CMNT), yang membukukan pendapatan sebesar Rp 6,42 triliun atau turun 1,07% yoy. Bahkan, rugi bersih CMNT juga mengalami pembengkakan sebesar 5,72% yoy menjadi Rp 186,82 miliar.

PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) juga tak luput dari tekanan, dengan pendapatan yang melorot 9,95% yoy menjadi Rp 7,87 triliun. Namun, di tengah tantangan ini, SMCB berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 12,30% yoy menjadi Rp 474,52 miliar.

Di antara sejumlah emiten semen, PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) menjadi satu-satunya yang mampu mencatatkan kinerja positif baik dari sisi *top line* maupun *bottom line*. Pendapatan SMBR meningkat signifikan sebesar 27,14% yoy menjadi Rp 1,78 triliun, dan laba bersihnya melesat tajam sebesar 310,83% yoy menjadi Rp 146,30 miliar.

Menurut Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, industri semen nasional masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Permintaan semen yang lesu dan kelebihan kapasitas (oversupply) menjadi faktor utama yang membebani kinerja sektor ini.

Kondisi *oversupply* ini menyebabkan utilisasi pabrik semen di Indonesia berada di bawah 60%, akibat kombinasi antara pasokan yang berlebih dan permintaan yang kurang menggembirakan.

“Hanya SMBR yang diuntungkan oleh efek basis rendah dan penetrasi pasar Sumatra yang relatif stabil,” ujar Wafi pada Selasa (18/11/2025).

Senada dengan Wafi, Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menambahkan bahwa tekanan yang dihadapi emiten semen sepanjang tahun ini berasal dari masalah kronis oversupply. Kapasitas terpasang industri yang mencapai 122 juta ton per tahun jauh melampaui realisasi permintaan yang hanya 65 juta ton.

Ketidakseimbangan pasokan ini memicu persaingan harga yang ketat, yang pada akhirnya menekan harga jual rata-rata dan membatasi pendapatan emiten semen.

“Kondisi ini diperparah oleh permintaan domestik yang lesu akibat pemotongan anggaran infrastruktur dan daya beli konsumen yang belum pulih,” imbuh Abida pada Rabu (19/11/2025).

Saham Legendaris Bangkit: Intip Rekomendasi Saham dan Prospek BUMI, HMSP, ASII

Lebih lanjut, Abida memproyeksikan bahwa prospek kinerja emiten semen pada sisa tahun 2025 dan tahun 2026 mendatang akan kembali menghadapi tekanan berat dari sisi volume penjualan dan pendapatan. Pertumbuhan konsumsi semen nasional diperkirakan hanya akan tumbuh moderat, yaitu sebesar 1%-3% pada tahun depan.

Sentimen positif berupa pembukaan blokir anggaran untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dinilai belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan seluruh kelebihan pasokan secara nasional.

Meskipun demikian, peluang pemulihan laba bagi emiten semen tetap terbuka melalui katalis positif dari sisi biaya (cost tailwinds). Deflasi harga energi, khususnya penurunan harga batubara yang menyumbang 25%-30% dari total biaya produksi semen, menjadi sentimen positif utama bagi emiten di sektor ini.

Dengan adanya proyeksi stabilitas harga batubara yang lebih rendah di tahun 2026, diharapkan akan meningkatkan *Gross Margin* dari emiten semen secara langsung.

“Pemulihan laba di tahun 2026 kemungkinan besar akan didorong oleh peningkatan margin yang berasal dari efisiensi biaya yang terkendali, bukan dari pertumbuhan volume penjualan yang eksplosif,” terang Abida.

Sementara itu, Wafi menekankan pentingnya bagi emiten semen untuk memperkuat strategi efisiensi energi serta optimalisasi distribusi dan logistik. Selain itu, emiten juga perlu membuka peluang untuk memaksimalkan ekspor semen ke pasar regional yang menawarkan margin lebih sehat serta melakukan diversifikasi produk dan integrasi dengan segmen hilir.

“Emiten yang aman bertahan biasanya memiliki arus kas kuat, utilitas baik, dan leverage rendah,” tutur Wafi.

INTP Chart by TradingView

Wafi pun merekomendasikan saham INTP dan SMGR untuk dipertimbangkan oleh investor dengan target harga masing-masing di level Rp 7.200 per saham dan Rp 3.300 per saham.

Senada, Abida juga menilai bahwa saham di sektor semen masih layak dipertimbangkan oleh investor jangka panjang, namun dengan pendekatan pemilihan saham yang ketat. Hal ini didasarkan pada valuasi sektor semen yang secara historis cukup murah (undervalued) berdasarkan *price to book value* (PBV) dan EBITDA.

Abida merekomendasikan beli saham SMGR dengan target harga di level Rp 2.750 per saham. Sementara itu, saham INTP direkomendasikan untuk di-*hold* dengan target harga di level Rp 7.200 per saham.

Tags:

Share:

Related Post