Utang Indonesia 2026: Pemerintah Targetkan Rasio 39,96% dari PDB

Admin

No comments

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan komitmen pemerintah untuk mengendalikan rasio utang melalui prioritas pada sumber utang domestik, pengembangan pembiayaan inovatif, dan pengelolaan portofolio utang yang aktif.

Pemerintah menargetkan rasio utang berada di level 39,96 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2026. Target ini tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

“Rasio utang tetap terkendali di angka 39,96 persen, tidak mengalami perubahan signifikan dalam tiga tahun terakhir,” ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025, seperti dikutip dari Antara. Pernyataan ini menggarisbawahi upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal di tengah dinamika ekonomi global.

Kebijakan pembiayaan anggaran tahun 2026 akan difokuskan pada optimalisasi dan sinergi antara Badan Layanan Umum (BLU), Special Mission Vehicle (SMV), Indonesian Investment Authority (INA), dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) juga akan dioptimalkan sebagai bantalan fiskal untuk menghadapi potensi gejolak ekonomi.

Lebih lanjut, pemerintah berencana meningkatkan akses pembiayaan investasi, memperdalam pasar keuangan domestik, serta mendorong pembiayaan inovatif, termasuk melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Langkah-langkah ini diharapkan dapat menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Sejak tahun 2021 hingga semester I-2025, rasio utang pemerintah secara konsisten berada di kisaran 39 persen. Data dari Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026 menunjukkan bahwa rasio utang sempat menyentuh angka 40,7 persen pada tahun 2021 akibat dampak pandemi Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional. Namun, angka tersebut berhasil diturunkan di bawah 40 persen, mencapai 39,8 persen pada akhir tahun 2024.

Defisit RAPBN 2026 diproyeksikan sebesar Rp 636,8 triliun atau 2,48 persen dari PDB. Sementara itu, target pendapatan negara adalah sebesar Rp 3.147,7 triliun, dan belanja negara ditargetkan mencapai Rp 3.786,5 triliun.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sebelumnya menyoroti potensi peningkatan beban utang jatuh tempo. Pada tahun 2025, pemerintah mengalokasikan Rp 552,1 triliun dari APBN untuk pembayaran bunga utang. Jumlah ini setara dengan seperempat dari perkiraan penerimaan pajak tahun ini, yang diproyeksikan hanya mencapai Rp 2.067 triliun.

Pada tahun 2025, pemerintah menghadapi kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun. Strategi yang umum dilakukan untuk membayar utang jatuh tempo adalah dengan menerbitkan surat utang baru, atau yang disebut sebagai refinancing. Namun, langkah ini dinilai dapat meningkatkan beban cicilan bunga utang setiap tahunnya.

Bhima memperkirakan bahwa beban bunga utang pemerintah akan meningkat sekitar 30 persen setiap tahun. “Peningkatan ini sejalan dengan penambahan utang baru di tahun berjalan,” jelas Bhima, seperti dikutip dari laporan Majalah Tempo pada 3 Agustus 2025 yang berjudul “Akibat Utang, Benarkah Indonesia Masuk Negara Kategori Gagal.”

Pada akhir tahun 2024, total utang pemerintah mencapai Rp 8.913 triliun. Berdasarkan perhitungan Celios, hingga semester I-2025, jumlah outstanding utang pemerintah bertambah sebesar Rp 224,89 triliun, menjadi Rp 9.138,05 triliun, atau setara dengan 39,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Celios juga membandingkan besaran bunga utang terhadap penerimaan pajak setiap tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio tersebut terus meningkat karena porsi pembayaran bunga utang semakin tinggi dibandingkan dengan penerimaan pajak. Bhima menjelaskan bahwa kondisi ini akan mengurangi kapasitas fiskal negara, mengingat saat ini seperempat dari penerimaan pajak dialokasikan untuk membayar bunga utang.

Pembayaran bunga utang juga berdampak pada alokasi anggaran untuk sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Data dari Celios menunjukkan bahwa selama periode 2015-2025, porsi belanja bunga utang Indonesia selalu melebihi anggaran kesehatan.

Sebagai contoh, pada tahun 2025, rasio beban bunga utang terhadap anggaran kesehatan mencapai 253 persen. Bahkan, pada tahun sebelumnya, angka ini mencapai 266 persen. Sementara itu, rasio bunga utang terhadap anggaran pendidikan relatif lebih baik, yaitu 85 persen pada tahun 2024 dan 76,3 persen pada tahun 2025.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, menyoroti indikator kegagalan sistemik pada negara-negara yang mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pembayaran bunga utang dibandingkan dengan pembiayaan pendidikan atau belanja kesehatan.

Guterres menyatakan bahwa sekitar 3,3 miliar orang tinggal di negara-negara dengan kondisi tersebut. “Sebanyak 3,3 miliar orang bukan sekadar risiko sistemik. Ini adalah bukti kegagalan sistemik,” tegas Guterres dalam peluncuran laporan “A World of Debt” pada 12 Juli 2023.

Caesar Akbar dan Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Akibat Utang, Benarkah Indonesia Masuk Kategori Negara Gagal

Tags:

Share:

Related Post