PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) telah mencapai kesepakatan penting dengan Pertamina untuk berkolaborasi dalam skema business to business. Melalui perjanjian ini, Vivo berkomitmen menyerap 40 ribu barel bahan bakar minyak (BBM) dari total 100 ribu barel kargo impor yang ditawarkan oleh Pertamina.
Kesepakatan ini disambut baik oleh Penjabat Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun. Ia menegaskan, “Kami menyambut baik semangat kolaborasi yang terjalin dengan Vivo.” Kolaborasi strategis antara Pertamina Patra Niaga (PPN) dan badan usaha swasta ini merupakan tindak lanjut langsung dari arahan pemerintah, khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadila, untuk memastikan pemenuhan pasokan BBM di Tanah Air, seperti dikutip dari Antara, Jakarta, pada Jumat, 26 September 2025.
Roberth menjelaskan bahwa landasan kolaborasi ini adalah niat baik, transparansi, serta kepatuhan pada prinsip-prinsip good corporate governance. Dalam kemitraan ini, Vivo juga telah memberikan komitmen penuh untuk menjamin ketersediaan BBM dan kelancaran distribusi energi, demi memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
“Kebijakan ini bukan sekadar soal impor BBM,” ujar Roberth, menekankan. “Melainkan tentang bagaimana semua pihak bekerja sama memastikan energi tersedia dan masyarakat dapat terlayani dengan sangat baik.” Ia menambahkan, mekanisme penyediaan pasokan kepada Vivo akan dijalankan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. “Harapan kami, dengan niat baik ini Vivo dapat berkolaborasi, dengan tetap menghormati aturan dan aspek kepatuhan yang berlaku di BUMN,” tegasnya, menggarisbawahi pentingnya integritas dalam setiap langkah.
Selanjutnya, proses penting yang akan dilakukan adalah uji kualitas dan kuantitas produk BBM, yang akan melibatkan surveyor independen yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Langkah ini diharapkan dapat mewujudkan layanan energi yang semakin merata, adil, dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kesepakatan kolaborasi ini tidak terlepas dari peran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang sebelumnya telah mengumumkan bahwa perusahaan pengelola SPBU swasta sepakat untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina. Pengumuman ini menyusul rapat penting yang diselenggarakan pemerintah dengan sejumlah perusahaan ritel BBM asing, termasuk Shell, BP-AKR, Vivo, dan Exxon Mobil, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Jumat, 19 September 2025.
Rapat strategis tersebut turut dihadiri oleh jajaran direksi Pertamina dan Patra Niaga, serta pejabat eselon I Kementerian ESDM. Dari diskusi tersebut, Bahlil mengungkapkan bahwa Pertamina telah menyetujui skema penjualan produk base fuel atau bahan baku BBM yang belum dicampur kepada SPBU swasta. “Artinya yang disalurkan belum dicampur-campur. Jadi dicampurnya di masing-masing tangki milik SPBU. Ini sudah disetujui, ini solusinya,” jelas Bahlil, menandai perubahan signifikan dalam model pasokan.
Bahlil merincikan empat poin utama yang menjadi hasil kesepakatan antara pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta. Pertama, SPBU swasta diwajibkan membeli pasokan dari Pertamina menggunakan skema base fuel. Ini menandai pergeseran; jika sebelumnya Pertamina menawarkan produk BBM siap pakai, kini fokusnya adalah penyediaan bahan baku.
Kedua, demi menjamin mutu dan kualitas, akan dilakukan pemeriksaan bersama oleh surveyor yang disepakati kedua belah pihak sebelum pengiriman BBM. Ketiga, Bahlil menekankan pentingnya mekanisme harga yang adil dan transparan. “Pertamina maupun swasta wajib membuka pembukuan agar tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya, mendorong akuntabilitas dalam penetapan harga.
Keempat, kesepakatan ini mulai berlaku segera dan akan ditindaklanjuti dengan rapat teknis lebih lanjut. Pemerintah menargetkan bahwa dalam tujuh hari ke depan, pasokan BBM yang menggunakan skema baru ini sudah dapat masuk dan didistribusikan di Indonesia, memastikan kelancaran pasokan energi.
Pilihan Editor: Subsidi BBM, Rumor, dan Reformasi yang Tertunda