Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa pasokan gas untuk industri yang sempat mengalami gangguan kini telah kembali normal. Langkah krusial yang diambil pemerintah adalah memprioritaskan kebutuhan dalam negeri dengan mengurangi alokasi ekspor gas.
“Sebagian alokasi gas yang tadinya untuk ekspor, saat ini tidak kami lakukan. Selain itu, ada tambahan pasokan dari sumber gas yang baru ditemukan,” ungkap Bahlil di kantornya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Bahlil menjelaskan bahwa penyebab utama kelangkaan pasokan gas sebelumnya adalah kebakaran fasilitas milik Pertamina EP di Subang, Jawa Barat. “Setelah insiden kebakaran pipa tersebut, alokasi gas kini sudah kembali tersedia,” imbuhnya.
Sebelumnya, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) mengumumkan pembatasan pasokan gas kepada sektor industri. Pembatasan ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gas yang terjadi pada Agustus 2025.
Menurut Sekretaris Perusahaan PGN, Fajriyah Usman, penurunan penyaluran gas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menjadi salah satu faktor penyebab masalah ini. Akibatnya, PGN terpaksa membatasi suplai gas sementara waktu kepada pelanggan di wilayah Jawa Barat dan Sumatera.
Fajriyah menjelaskan bahwa gangguan operasi di KKKS serta proses finalisasi beberapa tambahan pasokan gas menjadi penyebab utama kondisi tersebut. Hal ini disampaikan Fajriyah saat dihubungi pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Namun, pada Ahad, 17 Agustus 2025, PGN mengklaim bahwa tekanan gas dalam infrastruktur pipa mulai berangsur-angsur stabil berkat adanya tambahan pasokan. Fajriyah Usman menyatakan bahwa langkah ini merupakan hasil sinergi antara PGN, Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Tambahan pasokan ini diharapkan dapat memperkuat keandalan operasional dan menjaga keberlangsungan layanan kepada pelanggan.
“Kami berkomitmen untuk mendukung kelancaran operasional pelanggan, terutama sektor industri yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian nasional,” ujar Fajriyah melalui keterangan tertulis pada Senin, 18 Agustus 2025.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan adanya penurunan utilisasi di sejumlah sektor industri akibat kendala pasokan gas, salah satunya adalah industri keramik nasional.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri, mengungkapkan bahwa tingkat utilisasi industri keramik sepanjang semester I 2025 hanya mencapai sekitar 70-71 persen. Meskipun demikian, Febri mengakui bahwa angka ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. “Jika pasokan gas terus terganggu, capaian ini bisa tergerus lagi, terutama bagi industri pupuk yang akan memasok kebutuhan pupuk dalam program swasembada pangan Presiden Prabowo,” kata Febri pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Febri mengingatkan bahwa kebutuhan gas industri nasional mencapai 2.700 MMSCFD, sementara volume Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tersedia hanya sekitar 1.600 MMSCFD, dengan 900 MMSCFD di antaranya dialokasikan untuk BUMN. Kondisi ini dinilai dapat merugikan perusahaan swasta dan berdampak pada efisiensi usaha hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kemenperin juga menyoroti PT PGN yang menerapkan HBGT senilai US$ 16,77 per million british thermal unit (MMBTU). Menurut Febri, harga tersebut memberatkan pelaku usaha. Ia berpendapat bahwa nilai HGBT seharusnya tidak melebihi US$ 6,5 per MMBTU.
Lebih lanjut, Febri menjelaskan bahwa sekitar 134.795 pekerja di berbagai sektor industri bergantung pada ketersediaan HGBT. Rinciannya mencakup 43.058 pekerja di industri keramik, 31.434 di sektor baja, 23.006 di petrokimia, 12.928 di kaca, 12.288 di oleokimia, 10.420 di pupuk, serta 1.660 di industri sarung tangan karet.
Menurut Febri, kenaikan HGBT akan secara langsung menggerus margin keuntungan dan menurunkan utilisasi pabrik. Bahkan dalam jangka panjang, Febri memprediksi hal ini akan menekan minat investor untuk menanamkan modal di sektor manufaktur, terutama pada industri padat energi. “Jika masalah HGBT tidak segera diatasi, dampaknya bukan hanya pada daya saing industri, tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor ini,” tegasnya.
Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Risiko Kerugian PGN Akibat Gas Impor Pertamina